Renjun memainkan strap tas ranselnya, kakinya menendang-nendang kerikil kecil di lapangan sekolahnya. Ia dan Haechan berjalan bersisian menuju ke gedung sekolah dasar mereka.
"Tidak seru kalau tidak ada Jeno dan Nana," keluh Renjun seraya menghela nafas panjang. Haechan yang berjalan di sebelahnya mengangguk mengiyakan.
"Irene-noona membolehkah Jeno menemani Nana, tapi kita disuruh sekolah. Ck, tidak adil, aku juga ingin menemani Nana," dengus Haechan.
"Eii, bilang saja kalau kau ingin bolos," balas Renjun sambil terkekeh, yang dibalas Haechan dengan pekikan sanggahan dan sebuah pukul ringan di lengan Renjun.
"Tapi ngomong-ngomong, kenapa Nana masih sering pingsan ya? Kupikir Yixing-hyung sudah pernah menyembuhkannya."
Renjun menelaah kata-kata Haechan. Ia mengangguk-angguk setuju. "Benar juga, tidak sekali dua kali juga Yixing-hyung datang dan memeriksa Nana. Tapi Haechan-ah, mungkin saja kemampuan Nana memang seperti itu."
"Seperti itu bagaimana?" tanya Haechan yang tidak mengerti dengan maksud kata-kata Renjun.
Renjun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku pernah secara tidak sengaja mendengar percakapan antara Siwon-hyung dan Yixing-hyung, kau ingat saat kejadian saat kepala Nana terbentur meja?"
Haechan mengangguk, bergidik pelan ketika mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Mereka berenam, Renjun, Haechan, Jeno, Jaemin, Chenle dan Jisung, sedang bermain berkejaran di dalam rumah tatkala tiba-tiba, tanpa mereka duga, Jaemin yang sedang berusaha mengejar Jisung, kehilangan kesadaran. Sayangnya, tak ada yang sempat menahan tubuhnya kala tubuh kecil itu jatuh menyamping dan kepalanya terantuk pinggiran meja cukup keras. Haechan masih ingat teriakan ngeri Jeno yang berlari menghampir Jaemin, dengan kepala bersimbah darah. Masih segar di ingatannya Jeno yang menangis menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa menjaga Jaemin sementara Siwon dan Irene dengan panik menahan darah yang mengucur dari pelipis Jaemin dan membawanya ke klinik terdekat.
"Malam itu sepulangnya mereka dari klinik, Yixing-hyung datang, kan? Aku tak sengaja mendengar percakapan mereka. Mereka membicarakan kekuatan Jaemin yang tidak bisa dikontrol dan diprediksi."
Haechan menelengkan kepalanya, berusaha mengingat sesuatu. Ia cukup setuju dengan kata-kata Renjun. "Kalau dipikir-pikir, betul juga. Ya, Renjun-ah, kemampuanmu muncul saat kau umur berapa, tujuh tahun ya? Dan kemampuanku muncul kalau tidak salah saat usiaku enam tahun. Tapi kita dengan cepat bisa mengontrol kemampuan kita hanya beberapa bulan setelah tiba dan tinggal di Canary."
"Iya, kan? Ya, kan?" Renjun menyetujui. "Kau ingat, bahkan Jeno yang datang bersamaan dengan Jaemin saja, tidak sampai setahun sudah bisa mengontrol kemampuannya dengan sangat baik."
"Dulu kupikir bisa tahu masa depan itu keren, kau tahu, bisa memprediksi apa yang akan terjadi dan tahu lebih dulu dari orang lain." Haechan mengedikkan bahunya. "Tapi setelah melihat Nana, aku jadi kasihan padanya."
***
Seperti biasanya, seperti yang ia lakukan entah berapa kali sejak dua tahun belakangan ini, Siwon akan duduk di sebelah Jaemin, memegang tangan kecil itu, sambil sesekali menenangkan Jeno yang terkadang terlalu cemas dengan keadaan sahabatnya.
Siwon bukannya tidak cemas, ia selalu merasa jantungnya serasa berhenti berdetak tiap kali melihat Jaemin kehilangan kesadarannya, ia hanya lebih pandai menyembunyikan rasa takut dan khawatirnya.
"Kenapa kekuatan Nana menyakitinya?" sebuah pertanyaan meluncur dari bibir Jeno. Anak itu berbaring di sebelah Jaemin sambil memainkan kerah baju Jaemin.
Siwon menghela nafas panjang, tak tahu harus menjawab bagaimana.
"Hyung, kenapa Nana tidak bisa mengendalikan kekuatannya?" Mata coklat polos itu menatap Siwon dengan pandangan penuh tanya.
"Jeno-ya, dengarkan aku..." Siwon menggeser tubuhnya mendekat. "Kau ingat bagaimana pertama kali kau menyadari kemampuan spesialmu?"
Jeno mengangguk. "Waktu itu aku masih 8 tahun. Aku sedang bermain di halaman belakang panti ketika sebuah ranting besar jatuh dan akan menimpa temanku yang lain, tapi kemudian tiba-tiba ranting itu melayang dan tidak jadi menimpa temanku."
Siwon mengangguk-angguk, mempersilakan Jeno untuk meneruskan ceritanya.
"Sejak saat itu aku bisa membuat benda-benda di sekelilingku bergerak..."
"Tapi kau pun kesulitan untuk mengontrolnya, bukan?" tanya Siwon, yang diikuti dengan anggukan oleh Jeno. Siwon pun ingat bagaimana benda-benda di sekeliling Jeno sering bergerak dan melayang tak terkontrol, kadang Jeno bahkan tak sengaja membuat orang di sebelahnya melayang saat ia sedang tidak fokus dan tak mampu mengontrol kemampuannya.
"Jeno-ya, kemampuan yang dimiliki oleh Nana bekerja dengan cara yang berbeda dengan kemampuanmu atau kemampuan saudara-saudaramu yang lain," Siwon menjelaskan. Ia melihat kening Jeno yang berkerut, tanda ia tak mengerti. "Sebetulnya aku pun tak terlalu mengerti bagaimana, tapi yang kutahu, kemampuan Nana bekerja ketika ia tak sadarkan diri, ketika ia sendiri tak tahu bagaimana cara mengontrolnya."
Jeno masih menatapnya dengan pandangan khas anak kecil yang tidak terima dengan penjelasan Siwon, tapi Siwon bersyukur Jeno tak bertanya lebih jauh. Ia pun sejatinya tak mengerti dengan baik bagaimana kemampuan Jaemin bekerja dan apa saja yang dilihat anak itu ketika 'penglihatannya'-nya datang.
Kesunyian di antara mereka terusik tatkala sebuah erangan kecil keluar dari bibir Jaemin. Matanya masih tertutup rapat, tapi nafasnya mulai semakin cepat, sebuah ekspresi antara panik dan ketakutan muncul di wajah Jaemin.
"Hei, hei, Jaemin-ah, kau baik-baik saja, kau baik-baik saja." Tangan Siwon semakin erat menggenggam tangan Jaemin. Ia mengusap kening Jaemin yang basah oleh keringat yang tiba-tiba membanjiri badannya. Di sisi lain, Jeno memegang tangan Jaemin satunya, wajahnya terlihat cemas.
Siwon tahu hal seperti ini cukup jarang terjadi. Biasanya Jaemin akan terbangun dengan perlahan, seperti terbangun dari tidur, walau dengan sedikit disorientasi dan kebingungan. Siwon atau Irene, atau saudaranya yang lebih tua, akan memberinya minum sebelum akhirnya Jaemin akan jatuh tertidur lagi karena kelelahan. Namun ada saat dimana Jaemin akan bergerak-gerak gelisah seperti mengalami mimpi buruk, sebelum akhirnya kesadarannya kembali.
Kali ini, sepertinya adalah pertama kalinya Jaemin terlihat sangat tersiksa. Erangan yang keluar dari bibirnya semakin keras, kedua tangannya yang gemetar semakin erat menggenggam masing-masing tangan Siwon dan Jeno, deru nafasnya pun semakin cepat seolah-olah ia sedang melarikan diri dari sesuatu. Ketika Siwon ingin menyuruh Jeno untuk berlari keluar agar memanggil Irene dan menghubungi Yixing, mata Jaemin terbuka secara tiba-tiba.
"Jaemin-ah, hei, kau baik-baik saja, hyung ada di sini." Siwon mengusap pelan kepala Jaemin. Mata Jaemin menatap nyalang sekitarnya, seperti meyakinkan dirinya bahwa ia tidak lagi terjebak di sebuah keadaan mengerikan yang baru saja ia saksikan. Ketika tatapan matanya jatuh pada Jeno, sebuah bulir airmata menetes di pipinya disertai isakan kecil. Jaemin menubruk Jeno dan memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Jeno memeluk sahabatnya dengan begitu erat seraya mengusap-usap punggung Jaemin untuk menenangkannya.
Jeno bertukar pandangan dengan Siwon. Terakhir kali Jaemin terbangun dengan begitu panik adalah ketika ia melihat kilasan masa lalu di hari 'itu', di hari dimana mereka berdua diselamatkan oleh Seulgi dan Chanyeol dan dibawa ke Canary Mansion. Tapi tidak pernah sekalipun Jaemin menangis seperti ini dengan tubuh gemetar ketakutan.
Apa yang ia lihat?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Seer
General FictionJaemin tak pernah menginginkan kemampuan yang dimilikinya sekarang, ia tak pernah memintanya. Namun mungkin, mungkin saja, ia memang ditakdirkan untuk hal-hal besar. Hal-hal besar dan berbahaya. *** Ini sebuah cerita tentang anak-anak yang memiliki...