Zale

35 2 0
                                    

Zale

Jadi, begitulah cara matahari membebaskan dirinya dari pekerjaan. Dengan cara yang dramatis dan disukai hampir semua orang. Tenggelam meninggalkan semburat merah di langit barat. Semerah saus raspberry yang kutuangkan ke atas dua skup es krim vanilla. Berbeda dengan matahari, aku masih harus bekerja sekitar empat jam lagi sampai pukul sepuluh malam nanti.

Pada saat senja seperti ini, seperti biasanya, kedai memang sepi pengunjung, orang-orang lebih suka menikmati senja dari taman kota di seberang jalan. Salahkan pengembang atau konsultan feng shui yang lebih menyarankan kedai ini menghadap ke timur sehingga tak seorang pun berminat menghabiskan senja di kedai ini. Katanya, kedai ini harus dipenuhi cahaya matahari terbit yang penuh keberuntungan. Padahal kedai ini baru buka jam sembilan pagi, mana ada pelanggan yang bisa menikmati matahari terbit di sini.

Aku sendiri sering menatap iri pada kerumunan yang bisa kulihat jelas dari jendela kedai. Mereka berkumpul untuk menikmati senja. Yah, setidaknya aku cukup beruntung bisa mengintip sedikit si bulat merah dari sela ventilasi dapur kedai, walau pandanganku harus teriris-iris jeruji. Sebenarnya, tak ada yang terlalu istimewa dari senja di kota ini, aku yang telah tinggal dua puluh tahun tanpa meninggalkan kota ini pun bukan sedang menikmati senja karena keindahannya, namun lebih dikarenakan kekaribanku dengan senja. Ada terlalu banyak kenangan tentang senja, kenangan yang begitu purba, namun tak pernah ada kenangan baru yang mampu menghapus atau menggantikannya.

Tidak seperti kerumunan orang-orang di taman kota, seorang gadis nampaknya lebih memilih es krim daripada senja, dia sedang duduk di pinggir jendela yang tepat menghadap ke timur, menunggu pesanan es krim dan pie apel yang sedang kusiapkan, sambil bebas mengamati kendaraan-kendaraan yang lewat di jalan, atau kerumunan orang di taman kota yang sedang menunggu senja.

Ini kali pertama gadis itu datang, namun wajahnya sudah tak asing lagi bagiku. Bukan hanya karena dia seperti datang dari masa lalu, namun karena sudah seminggu ini, hampir setiap hari aku melihatnya duduk di kursi taman kota yang setiap sore kulewati untuk pergi ke toko bahan kue, membeli rum, pasta vanilla, cokelat masak, dan sebagainya. Pemilik kedai telah terbiasa mempekerjakanku untuk segala urusan di kedai mulai dari menjadi juru masak, tukang belanja, waiter, manajer keuangan, bahkan petugas kebersihan. Dia lebih suka menyebutnya sebagai efisiensi disbanding mengakui kekikirannya.

Setiap aku secara kebetulan melihatnya duduk di bangku taman, dia selalu menghadap ke jalan, seakan tak membiarkan seorang pun yang lewat lepas dari penglihatannya, atau mungkin dia menghadap ke senja. Dari pakaian yang dikenakannya, dia sama sekali tidak tampak seperti gadis yang kesepian. Pakaiannya selalu modis, beragam asesoris dikenakannya dengan warna yang berganti-ganti setiap hari. Kadang dia memakai blus berwarna turquoise dan rok selutut berwarna senada, ditambah ikat pinggang manik-manik, serta sepatu boot semata kaki berwarna putih. Kadang dia memakai terusan berwarna pink dengan cardigan cokelat dan topi putih lebar dengan hiasan bunga mawar besar. Satu-satunya bagian dari busananya yang tampak begitu using adalah syal berwarna fuschia yang selalu dililitkan ke lehernya. Seperti halnya wajahnya, syal itu pun tampak seperti benda dari masa lalu yang tiba-tiba ditemukan di masa sekarang. Semacam fosil atau artefak.

Ketika dia melihatku melewatinya, dia akan tersenyum kepadaku entah untuk alasan apa. Aku pun akan membalas senyumnya sekedar beramah-tamah. Kadang aku juga sedikit menganggukkan kepala. Seolah menyetujui keindahan senja yang sedang ditunggunya.

Saat aku tiba di mejanya, kuletakkan es krim pesanannya bersama sepiring pie apple yang porsinya terlalu besar untuk dinikmatinya seorang diri.

“Silahkan dinikmati, nona. Apa ada hal lain lagi yang bisa saya bantu?”

“Sudah cukup, terima kasih banyak.”

Tepat setelah senja berakhir pada pukul tujuh, gadis itu pun beranjak menghampiriku yang kini telah berada di belakang mesin kasir. Aku menyebutkan jumlah tagihannya dan dia membayar. Tak banyak interaksi kata-kata, tapi kami bertatapan dalam kecanggungan yang aneh seperti sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu dan begitu saling merindukan satu sama lain.

Senja di Tiga Pasang MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang