Prolog

70 16 15
                                    

Setiap kita tidak pernah tahu kapan dan akan seperti apa cara Tuhan mempertemukan lalu memisahkan. Ataupun memisahkan lalu mempertemukan. Sampai pada akhirnya, menyisakan jejak dalam cerita.

><><

Namanya Malika Mahestri. Gadis kecil berumur enam tahun. Punya rambut hitam sepinggang dengan poni lucu sampai alis, ditambah dengan pipi yang tembem. Anak tunggal yang setiap harinya hanya berteman dengan boneka kodok berwarna hijau. Ya, hanya itu. Terhitung ini sudah hari ketiganya tinggal di rumah baru dan dia belum punya teman bermain satu pun.

Sering dia melihat seorang anak laki-laki seumurannya yang juga merupakan tetangga di sebelah rumah, anak laki-laki itu selalu bermain sepeda di depan rumah atau di jalan. Malika tak mau kalah, dia meminta Mamanya untuk segera mengeluarkan sepeda roda empat miliknya juga.

Ternyata anak laki-laki itu tidak sendirian, ada anak laki-laki lainnya yang umurnya kira-kira lebih tua tiga tahun dari mereka. Malika pikir bermain dengan mereka berdua akan terlihat mudah. Ternyata tidak, anak laki-laki seumurannya selalu cemberut dan menolak setiap kali Malika mencoba mengajaknya bermain.

“Kita nggak mau temenan sama kamu. Soalnya kamu belum bisa roda dua!”

“Aku baru dibeliin sepeda sama Mama aku, kata Ma—“

“Ayo, San! Kita harus isi bensin dulu! Hyuuu beemm,” Sorak anak laki-laki seumurannya, dia sudah lebih dulu melajukan sepeda tanpa mempedulikan Malika.

Yang dipanggil langsung menoleh ke depan “VIIIN! ISI BENSINNYA SAMPAI LAPANGAAAAN…” teriak Sandi yang sekarang juga sedang meninggalkan Malika.

Anak laki-laki itu, namanya Gavino Prasetya. Anak laki-laki bertubuh gempal, tidak suka jajan sembarangan, dan gemar sekali bermain sepeda kebanggaannya. Kapan pun dan dimana pun.

Dia tidak menyukai Malika.

Seperti anak laki-laki kecil lainnya, dia malu dan tidak suka kalau di ejek. Pernah suatu ketika, saat Malika baru saja pindah di sebelah rumahnya, Gavin tertangkap jelas sedang memperhatikan Malika dalam diamnya. Jelas saja dia langsung mendapat sorakan “Cie” dari semua teman sepermainannya. Sungguh, sebenarnya dia risih mendengarnya, ah, mulai hari ini dia harus berjanji akan menjaga jarak dengan yang namanya Malika.

Jika Malika menghampirinya, lalu mengusiknya yang sedang asik-asik bermain dengan teman yang lain. Gavin selalu memarahi anak perempuan itu hingga menangis. Tapi, yang belum Gavin tahu, bukan Malika namanya kalau tidak membalas setiap reaksi yang Gavin berikan.

“DOORRR!”

Tentu saja, suara teriakan Malika yang tiba-tiba, membuat Gavin langsung melempar sepedanya dengan kasar. Anak laki-laki itu sangat terkejut dan langsung menangis pilu sambil cepat-cepat berlari masuk ke dalam rumahnya.

Jadilah, suara tangisan pengaduan seorang anak laki-laki kepada sang Mama.

“huu...uUuuuu… huaaa Mamaa! Mamaa…”

Malika yang melihat itu, langsung tertawa keras bercampur puas. Sangat keras malah. Pembalasannya berhasil. Masih dengan tawa bahagianya dia pun kembali kerumah dan berjalan menuju teras. Melepas sandal berbentuk pisang kesukaannya lalu kembali memainkan bonekanya.

Selang beberapa menit. Gavin muncul di depan teras rumah anak perempuan itu, mengambil sandal berbentuk pisang, lalu melemparnya ke dalam got dengan asal.

“Hei! Itu sandal ku!”

“Biarin! Rasain tuh, ambil aja sendiri! Biar tahu rasa!”

“Ambilin nggak?!” ujar Malika yang sudah setengah menangis sambil bangkit berdiri.

“Enggak akan, enggak akan! Blwee,”  balas Gavin tidak mau kalah. Sambil mengayuh sepedanya menjauh dari rumah tetangganya itu. “Kamu yang udah bikin sepeda aku lecet!” lanjutnya.

“Hhhh, dasar cowok cengeng! Awas aja, ya, nanti kalau kamu main sepeda kesini, aku lempar pakai sandal pantatnya!”

“Salah sendiri bikin kaget orang!” sergah Gavin tidak mau kalah.

Sekarang gantian Malika yang menangis. Kali ini sangat meraung. Dia tidak mau mengambil sendalnya di sebuah got yang sangat hitam dan kotor itu. Menjijikkan. Sedangkan, pelaku yang sudah mengacaukan kesenangannya, menatapnya dengan tatapan mengejek.

“Cengeng, kok, ngomong cengeng,” tambahnya.

Dari dalam rumah, Mama Malika menghampiri. Dan tentu saja, ini adalah suatu momen yang pas untuk mengadu di depan sang pelaku.

“Mama, sandal aku di masukkin ke got sama dia!”

Otomatis Karin -Mamanya Malika- mengarah ke anak laki-laki yang ditunjuk putrinya. Wanita itu tersenyum, memaklumi .

Gavin yang melihat senyuman Mamanya Malika, langsung menangis kemudian melempar asal sepedanya lagi. Mungkin nanti dia akan kembali menyesalinya, karena sudah melempar asal sepeda itu untuk yang kedua kalinya. Sepeda baru pemberian sang Papa sebagai hadiah masuk kelas satu SD. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang salah dengan senyuman Mamanya Malika sehingga membuatnya menangis?

“GAVIIIIN!! MASUK RUMAAAHH!” teriakan Siska -Mama Gavin- dari dalam rumah. Dia sudah sangat lelah mendengar suara anak laki-lakinya yang selalu menangis nyaring dengan nada pilu tanpa air mata.

“HuuuUuu.. uuUuuu hnggg” sambil tetap mengusap matanya yang sama sekali air pun tidak keluar dari sana.

Lalu, keduanya sama-sama menangis di dalam rumah mereka masing-masing.

><><

Masih prolog semoga sukaa^^
Jangan lupa vote and comment nya yaaa :)


13 Agustus 2019

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang