Kita

8 1 2
                                    

Teruntuk Bagas Anggara,
(Bara, yang mungkin sudah bahagia)

Matamu sedalam Mariana, membuatku tenggelam hingga ke dasar pesona.  Senyummu seperti pukat, menyebabkanku terjerat sampai sesak. Menurutku dirimu sempurna. Angin membelaimu seperti sutra. Matahari menyorotmu bak pemeran utama. Dan aku terpaku, terhantam renjana pada sepuluh detik pertama. Memang benar kata mereka, jatuh cinta itu mudah.  Hatiku dengan lantang berseru memuja, menelantarkan coretan Dan Brown untuk berpaling padamu.

Awalnya, menatap dari jauh sudah cukup. Namun entah sejak kapan logika dan hatiku bersekutu. Haus akan afeksi hingga ingin sedekat nadi.
Kita tidak saling mengenal dulu. Kau dengan duniamu, dipenuhi sorak ramai popularitas dan dentuman bola jingga. Sementara aku, sunyi adalah teman dan kernyitan dahi menandakan eksistensi. Jika dipandang kita berbeda, kau Matahari dan aku Bulan. Tetapi aku tahu, tawamu palsu, senyummu semu.

Lucu, bukan? Kau tidak mengenalku, namun aku bertingkah seolah sangat mengenalmu. Cinta mungkin sudah meracuni pikiranku. Kemudian, dengan angan yang terus menggebu aku mengambil langkah. Dibanding menyapa layaknya mereka, aku menorehkan tinta, mengukir kata.

Kau mungkin akan mendengus sambil berserapah saat membaca ini, atau tersipu malu—ini mungkin hanya delusiku. Tetapi mau apa dikata?

Takdir pernah mempertemukan kita hingga membuatku terlena. Kau tahu? Cemas menjadi, ketika kutahu kau sudah membaca suratku, surat cinta yang terselip di lokermu. Mengharap balasan mungkin terdengar berlebihan karena aku hanya ingin surat itu tak berakhir menjadi seonggok sampah. Sayangnya kau tak bereaksi, mungkin memang karena kau tak tertarik. Atau aku yang terlalu percaya diri.

Aku sudah hampir menyerah. Mungkin kita memang hanya ditakdirkan bertemu tanpa harus menyusun kisah. Kau tahu, apa yang kupikirkan saat kita bersinggung tatap di kantin selepas seminggu aku mengirim suratku?

Orang asing yang bertemu orang asing, tidak akan terjadi apa-apa, bukan?

Sayangnya aku salah, kau mengenaliku. Melempar senyum dan bertegur sapa. Aku hampir jatuh gemetar saat itu. Jantungku rasanya ingin melompat keluar dari tubuh. Hanya satu senyum, kau berhasil meluluhkanku.

Aku malu. Tetapi Nara bilang, dia temanku jika kau lupa, aku tidak boleh menyerah. Selepasnya, aku masih memujamu. Mataku tetap menatapmu, yang berlari diiringi dentuman si Jingga dan aliran keringat. Di bawah pohon rindang dengan buku terbentang, aku bersembunyi layaknya pidana yang akan diadili. Entah ke mana rasa berani itu dulu. Kau pun mengambil langkah mendekat, tersenyum untuk menjerat, dan menyapaku yang semakin tercekat. Itu kedua kalinya kau menyapaku.

Kau tahu, dampak yang kau berikan itu sedikit membuatku khawatir. Bagaimana jika aku terkena serangan jantung mendadak seperti yang diceritakan Ibu saat berkunjung ke rumah bibi, waktu itu? Aku masih belum ingin mati. Aku masih ingin memandangmu.

Setelah yang kedua pasti ada yang ketiga. Dan semua terasa mudah. Waktu berlalu, entah sejak kapan dekat bisa disandingkan dengan kita. Kau yang dulu hanya angan, kini bisa kugenggam dalam kejapan. Kita mulai saling bergantung, merasa hilang jika tidak bersama. Saat itu aku tahu, panah renjana tidak hanya menghujamku, namun juga dirimu.

Orang-orang punya aktivitas baru setelah melihat kita sering bersama. Mereka akan memberondongiku tanya tiap pagi, bertanya bagaimana mungkin budak buku sepertiku bisa bersamamu. Aku hanya tersenyum malu, tak tahu sua jika harus berseru. Aku masih khawatir. Kau belum mengikat, dan aku terlalu takut untuk menegaskan. Bagaimana jika selama ini aku salah dalam menilaimu? Jika kedekatan kita bukan karena afeksi, tetapi hanya sekadar ilusi yang membutakan hati.

Letter To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang