@Chapter 1.

7 2 0
                                    

Hawa awal musim hujan sudah mengintip di ujung horizon. Awan kelabu yang di bawanya menggulung dan siap menerjang. Harusnya hujan tidak turun pada waktu ini, tetapi siapa yang bisa memperkirakan cuaca zaman sekarang ?

Di belakang bangunan gedung sekolah yang tinggi dan megah masih tersisa sesuatu yang lolos dari perkembangan. Dua puluh tahun telah berlalu semenjak tangga batu itu dibangun di sekolah ini dan permukaannya yang kasar dan usang masih tersisa. Dedaunan yang gugur meninggalkan pohonnya itu kini bertebar di atas permukaannya. Menaburkan warna kekuningan dan kecoklatan yang berpadu dengan warna batunya yang hitam.

Pemandangan itu terlihat begitu artistik dan menenangkan. Tetapi masa lalu dan mistik yang meliputinya tertidur di bawah keindahan itu. Sesuatu yang gelap dan jahat menunggu untuk dipanggil. Jika ada siapapun yang menginginkannya, tangga itu bersedia mengabulkannya. Tentu saja, harga sebuah jiwa itu setimpal dengan mimpi besar yang terwujud, kan ?

÷÷÷

Ingin sekali Halim mengeluh dan bersungut-sungut ketika bangun pagi ini. Memandangi sudut-sudut dan langit-langit kamar yang asing ini membuat paginya tak begitu indah. Tempat ini baru dihuninya tiga hari, tapi dia sudah ingin pergi. Tetapi, siapa dirinya ini ? Ingin meminta lebih pada kedua orang tuanya yang sudah susah payah mendapatkan rumah paling bagus yang bisa mereka dapatkan di kota asing ini ? Apakah dirinya layak ? Halim tak sanggup mewujudkan kekesalannya ke dalam kata-kata dan menyakiti orang tuanya. Jadi dia hanya memendamnya seorang diri di balik senyuman dan berharap rasa betah itu datang dengan sendirinya.

Kepindahannya memang sesuatu yang sudah direncanakan. Tetapi Halim tak tahu kalau akan datang secepat ini. Dia tak punya pilihan selain menerimanya. Lagipula, bisa apa dia selain ikut pindah juga. Meninggalkan teman-teman dan lingkungan yang sudah ditinggalinya sejak pertama kali bisa berjalan dengan kaki sendiri memang berat, tapi lebih berat lagi berpisah dengan orang tuanya dan tinggal seorang diri. Dia tak punya pilihan. Dan hari ini adalah hari pertamanya masuk ke sekolahnya yang baru. Halim tak berharap banyak, tak berharap baik juga. Dia tahu dia harus sekolah, meski bayangan tentang rasa asing di sekolahnya terngiang-ngiang sejak semalam.

"Tenang saja. Itu sekolah bagus." Ayahnya sedang menyetir sembari mendengarkan berita pagi dari radio di dalam mobil. Halim duduk di sebelahnya dengan kepala di kaca pintu. Pepohonan yang bergerak semu membuatnya mudah jatuh dalam lamunan. Meski begitu dia masih bisa mendengar ucapan ayahnya.

"Iya." Jawabnya. Jelas tanpa semangat.

"Mau gimana lagi. Keadaan mengharuskan kita supaya pindah." Kata ayahnya.

"Aku tahu, Yah. Aku nggak apa-apa. Cuma agak badmood sedikit. Sebentar lagi juga hilang. Ayah, kan tahu aku." Halim tersenyum memandangi ayahnya.

"Iya, ayah tahu."

Hal seperti ini memang sering terjadi padanya. Entah kenapa perasaan Halim bisa jadi sangat buruk pada suatu waktu tetapi membaik tak lama kemudian. Bagi orang yang baru pertama kali bertemu dengannya lalu melihatnya begitu, mereka bisa langsung panik.

Jalan raya di pagi hari tak jauh berbeda dengan kota lamanya. Ramai lancar dipenuhi dengan orang-orang yang sibuk dengan perjalanannya menuju tempat kerja atau anak-anak yang sedang menuju sekolah. Halim tidak antusias, tapi juga tak merasa sedih atau marah. Dia hanya merasa kosong. Mungkin belum terbiasa dengan keadaan baru ini.

÷÷÷

Ketika sampai di sekolahnya entah kenapa rasa gugup itu datang tiba-tiba kepada Halim. Saat melewati gerbang itu Halim menoleh ke atas, tulisan warna biru langit terpampang di atas. Menunjukkan pada siapapun yang datang tentang kemana mereka akan masuk.

SMA SCALONE.

Halim merasa nama itu unik daripada aneh. Yah, mungkin karena ini adalah sekolah swasta jadi namanya seperti itu. Nama sekolah swasta memang kadang unik. Tapi itu bukan masalah besar.

Gedung sekolah itu terlihat cukup bagus. Halim melihat ada empat tingkat dari sini. Dan gedung itu memanjang ke belakang. Tempat parkir terletak di sebelah barat dan lapangan olah raga yang di batasi pagar kawat setinggi enam meter ada di sebelahnya. Sepertinya lapangan itu juga dibuat untuk lapangan upacara karena ada tiang bendera di sana. Sekolah masih ramai karena bel masuk belum berbunyi. Halim dan ayahnya berjalan ke kantor guru lewat koridor yang terhubung dengan tempat parkir untuk menyelesaikan urusan kepindahan yang tersisa. Lalu setelah itu sseorang guru yang ramah pun mengantarkan Halim menuju kelasnya. Ketika itu bel sudah berbunyi dan menggiring semua siswa ke dalam kelasnya. Saat itu lah perasaan gugup Halim makin menjadi.

Kelasnya terletak di ujung koridor lantai dua. Dari atas sini Halim bisa melihat ke bawah ke arah taman yang diapit dua sisi gedung. Halim hanya melihat sekilas tapi dia tahu kalau taman itu lumayan bagus. Namun sekarang, yang jadi perhatiannya bukanlah taman itu. Tapi suasana kelas yang mendadak sunyi ketika dia masuk. Bisik-bisik terdengar dari sudut bersama mata yang menatapnya penuh penasaran. Halim menelan ludah, lalu menenangkan diri. Berdiri di depan kelas dengan muka setenang mungkin.

"Kita kedatangan murid baru di kelas ini. Dia baru pindah ke sini tiga hari yang lalu." Ucap guru perempuan yang mengantarnya. Dia memegang bahu Halim. Nada suaranya datar namun menyenangkan. Tetapi tidak bisa menghilangkan kegugupan Halim melihat wajah-wajah asing di depannya. Setelah memperkenalkan dirinya dengan ketenangan yang dibuat-buat Halim dipersilahkan duduk di pojok belakang. Dua orang siswa diperintahkan untuk mengambilkan kursi dan meja untuk Halim. Setelah Halim duduk di sana sang guru perempuan pun keluar. Nampaknya dia bukanlah guru yang akan mengajar jam pelajaran pertama.

Hari pertamanya ini belum begitu berarti. Hanyalah hari biasa yang dilaluinya seorang diri. Tidak ada yang mengajaknya bicara karena bangku terdekat di depannya masih kosong bahkan setelah pelajaran berlangsung. Halim tidak tahu kemana murid di depannya ini.

Hingga jam istirahat tiba bangku di depannya masih juga kosong. Dan belum juga ada seorang pun di kelas ini yang berbicara dengannya. Halim langsung khawatir dengan hari-hari kedepannya. Tiba-tiba saja dia merindukan sekolah dan teman-teman lamanya.

Halim memutuskan beranjak dari kelas ini dan menuju ke taman yang ia lihat tadi. Begitu sampai di sana Halim menyadari kalau taman ini lebih besar daripada yang ia lihat. Beberapa kursi dari semen yang di bentuk menjadi pangkal pohon yang ditebang beserta mejanya diletakkan di beberapa sisi. Ada pohon jambu air yang ditanam berjajar, lalu sebuah pohon beringin besar di tengah-tengah taman itu. Ia berdiri kokoh dengan sulur-sulur yang menjuntai sampai ke tanah. Taman ini ramai. Selain ada beberapa siswa yang duduk bersama kumpulannya, ada juga beberapa pasangan yang menghuni kursi kayu di pojokan. Halim tersenyum tanpa sadar. Berpikir apakah ia juga akan bertemu seseorang yang akan dia sukai di sekolah ini.

Halim terus berjalan. Rasanya taman ini tak akan membuatnya bosan. Hingga ia sampai di sebuah tangga batu yang terlihat sangat tua. Pepohonan di sekitar menggugurkan daunnya menutupi setiap permukaan anak tangga. Tangga itu tidak tinggi dan memghubungkan bagian taman yang lebih rendah. Ketika melihatnya dari bawah, Halim melihat sesuatu yang estetik dari tangga itu. Permukaan batu yang terkikis usia ditutupi warna kuning dan coklat dari dedaunan yang mengering. Dia menyiapkan ponselnya untuk mengambil foto.

"Hei !"

Halim begitu kaget sampai ponselnya terlepas dari pegangannya. Meluncur jatuh menuju anak tangga batu yang pertama di bawahnya. Lalu menghantam dengan suara gemeretak yang menyedihkan. Halim berbalik dan seorang siswa berdiri di belakangnya dengan tangan yang disimpan di dalam saku celana.

÷÷÷

To Be Continued...

Wishing StairsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang