@Chapter 2.

3 1 0
                                    

Halim tersentak sembari menatap ke bawah. Ponselnya sudah memantul sebanyak dua kali sampai akhirnya diam tergeletak. Halim segera memungutnya, hanya untuk mengetahui bahwa layarnya retak di bagian pojok. Lumayan parah.

"Yah !" Serunya. Lalu menoleh ke arah seseorang yang mengagetkannya. Tidak ada yang membuat siswa itu kelihatan terganggu. Halim sendiri tidak tahu apa yang harus di lakukannya. Secara teknis dia sendiri yang menjatuhkan ponselnya jadi dia tidak bisa memarahi siswa itu. Apalagi Halim juga merasa terintimidasi oleh sosoknya. Gestur dan bentuk wajahnya saat ini menunjukkan kalau dia bukan orang yang ramah.

Halim hanya saling menatap dengannya. Daerah bagian taman ini lumayan sepi karena kebanyakan murid berada di kumpulan bangku-bangku dari semen di sebelah sana.

Tatapan siswa itu beralih k ponsel di tangan Halim. Retakannya yang lumayan besar terlihat jelas dari sudutnya saat ini. Lalu ia mendekat.

"Sori," katanya. "Nanti aku ganti."

Jauh dari apa yang diduganya. Halim menaikkan alisnya karena heran. Siswa itu mengambil ponselnya lalu mengamati retakannya. Dia menghembuskan napas dan menggaruk-garuk kepalanya.

"Duh, lumayan besar lagi. Tapi masih bisa nyala, kok." Dia menyerahkan ponsel itu kembali.

"I-iya." Jawab Halim. Hari pertamanya di sini menjadi tidak terduga. Dia tidak mengira ponselnya akan rusak di hari pertamanya menginjakkan kaki di sini.

"Seragam kamu beda. Kamu pindahan ?" Tanya siswa itu.

"Iya, baru masuk tadi."

"Halim ?"

Halim otomatis mendongak mendengar namanya di panggil. Ternyata siswa itu melihat ke arah badge nama-nya. Hal itu membuat Halim ikut melihat ke arah badge nama siswa itu.

"Nama kamu."

"Iya." Jawab Halim. "Danna ?"

Siswa itu mengangguk. "Aku kelas tiga."

"Oh, maaf, Kak."

"Nggak apa-apa. Berarti kamu masih kelas satu ?"

"Dua, Kak."

"Oke. Kelas kamu di mana ?"

Halim tidak langsung menjawab karena dia juga lupa apa nama kelasnya. Dia menengok ke belakang. Ke tempatnya datang tadi. Lalu mendongak ke lantai dua.

"Pokoknya ada di lantai dua. Di ujung." Jawabnya.

"Hmm..." siswa itu mengangguk-angguk. "Oke. Nanti aku tunggu di gerbang pas pulang, ya. Aku langsung ganti layarnya."

Halim tidak bisa langsung mengiyakan tawaran itu. Dia masih merasa asing dengan siswa itu. Tapi tetap saja layar ponselnya harus di ganti. Sebenarnya Halim tidak kesulitan untuk melakukannya. Memperbaiki layar ponsel bukan masalah yang terlalu besar. Keluarganya bukan keluarga yang kesulitan masalah finansial. Tetapi melihat niat yang kelihatannya tulus dari kakak kelas yang baru di kenalnya untuk bertanggung jawab membuatnya tidak enak untuk menolak. Entah kenapa Halim punya firasat kalau siswa itu tidak mau ditolak untuk mengganti layar ponselnya.

"Iya, Kak." Jawab Halim. Kali ini disertai senyuman kecil.

÷÷÷

Ketika kembali ke kelasnya Halim melihat kursi di depannya sudah terisi oleh seorang siswi berambut sebahu. Halim bingung bagaimana dia bisa masuk sekarang. Ketika berjalan melewatinya untuk duduk di kursinya tiba-tiba siswi itu tersenyum cerah. Matanya berbinar menatap Halim yang mendekat.

"Kamu murid baru ?!" Tanya siswi itu. Suaranya terdengar lumayan keras sampai membuat Halim sedikit kaget.

"I-iya." Jawab Halim sembari duduk di kursinya. Siswi itu menoleh ke belakang dengan antusias.

Wishing StairsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang