#2 torture 2.0 🌑

26 2 1
                                    

Jam menunjukkan pukul 8 malam, urusan kaki Jonathan baru selesai. Tersisah Nata, Daffa, dan Jonathan di balkon kamar Nata. Ketiganya saling diam menikmati kesunyian dan angin malam kota Jakarta.

Nata melirik ke arah Daffa, matanya sendu dan tenang. Tanpa bertanya pun Nata tau Daffa sedang sedih.

Nata's pov.

Aku melirik kearah Daffa yang duduk tepat di sebelah kananku. Matanya coklatnya terlihat sendu. Apa yang sedang dipikirkannya? Apa dia sedang patah hati? Tapi wanita mana yang bisa mematahkan hatinya? Aku juga tidak pernah mendengar rumor Daffa memiliki pacar sama sekali.

Oh ayolah. Jika memang Daffa punya pacar, seluruh sekolah pasti tau. Daffa bukan murid laki laki biasa. Dia pangeran sekolah, sama seperti Brian. Setengah dari wanita di sekolahku adalah fans Daffa. Sisahnya? Tentu saja Brian. Atau mungkin aku terlalu berlebihan ya? Hahahaha

Ddrrrt.... Ddrrt....

Bunyi telfon dari ponsel Jonathan membuat aku dan Daffa ikut menoleh ke arahnya. Jonathan menggeser tombol hijau di layarnya dan mengangkat ponselnya.

"............"

"Iya ini mau balik, tadi abis pijet."

"..............."

"Iya, see ya." Jonathan menutup sambungan telfon dan memasukkan ponselnya ke saku celananya. Aku mengerti bahwa telfon itu pasti dari Mamanya.

"Balik dulu deh Nat, udah dicariin nyokap. Thanks ya" pamit Jonathan sambil beranjak dari duduknya. Daffa juga ikut berdiri sambil merapikan seragamnya. Aku mengangguk dan memimpin mereka untuk berjalan ke teras rumah. Mengantarkan mereka sampai mobil kuning milik Daffa hilang dari pandangan mataku.

Aku masuk ke kamar dengan sedikit gelisah.

Ada apa dengan Daffa?

Daffa kenapa?

Pikiran semacam itu memenuhi pikiranku dalam satu jam terakhir. Daffa memang pendiam. Tapi tatapan matanya tidak seperti biasanya. Tatapannya sendu dan sedih, seperti sedang kehilangan. Atau mungkin ia merasa hampa?

Aku memutuskan untuk menutup mataku, frustasi dengan pertanyaan yang berkali kali muncul di pikiranku. Dan semuanya tentang Daffa.

Daffa, kamu kenapa?

Author's pov.

Daffa dan Jonathan malam ini memilih untuk terjaga sepanjang malam sambil menonton film di kamar Jonathan. Sebenarnya Jonathan bisa saja langsung menanyakan apa yang terjadi dengan Daffa apa yang terjadi pada dirinya. Namun ia memilih diam, menunggu Daffa sendiri yang memberi tahunya.

"Lo ada minuman gak?" tanya Daffa tiba tiba, melirik Jonathan singkat. Jonathan mengangguk dan beranjak ke arah kamar kakaknya. Kalian pasti paham kan minuman apa yang Daffa maksud?

Jonathan membawa 3 botol soju ke kamarnya. Sebenarnya soju tidak cukup membuat mereka berdua mabuk. Apalagi hanya 3 botol. Hanya saja dengan minum seperti ini, Daffa bisa dengan leluasa bercerita.

Setelah beberapa teguk, Daffa yang mulai 'tipsy' menopang lagunya dan mulai menghela nafasnya. Jonathan sengaja tidak minum. Ia hanya menemani Daffa.

"Gue pengen mati biar ketemu mama"

"....."

"Gue kangen mama, Jo. Harusnya gue yang mati, bukan mama"

"Daf.."

"Harusnya gue yang papa bunuh. Bukan mama."

"Hah? Daf? Lo ngomong apa?"

"Lucu kan? Dia berlagak seolah olah dia yang paling sedih saat mama gak ada. Nyatanya dia yang bunuh Mama"

"...."

"Papa mungkin gak ngebunuh nyawa Mama. Tapi dia alasan Mama bunuh diri. Bajingan itu yang bikin Mama depresi selama ini."

Jonathan hanya bisa diam mendengarkan. Kadang seseorang yang sedang bersedih tidak butuh saran dari orang lain, mereka hanya ingin didengar.

"Papa selingkuh dari Mama dari setahun lalu. Mama tau dan memilih diam karna takut Papa ninggalin dia. Mama takut gue sedih, padahal Mama yang lebih sedih dari siapapun di antara kami bertiga. Mama yang paling menderita.."

Daffa mulai menangis, ia mengusap mukanya kasar dan menutup matanya. Jonathan dengan sigap menarik botol minuman yang ada di tangan Daffa. Berjaga jaga jika ia mungkin melakukan hal bodoh.

"Ma... Aku kangen.." lirih Daffa dengan tangisan sedihnya. Jonathan tidak melakukan apapun selain diam dan menepuk pundak Daffa.

Kini giliran Jonathan yang berbicara, Ia mengehela nafasnya berat. Ia mungkin tidak pernah mengalami apa yang Daffa alami sekarang. Namun ia tau pasti bahwa merindukan seseorang yang sudah tiada adalah hal yang rumit. Kau ingin memeluknya namun raganya bahkan sudah tidak ada di bumi. Ingin mendengar suaranya namun yang hanya bisa kau lakukan hanya menangisi kehilangan yang kau alami.

"Gue gak pernah ngelarang lo buat sedih. Dari bulan lalu gue selalu bilang hal yang sama. Lo boleh sedih, tapi jangan bikin kesedihan lo menguasai diri lo. Kesedihan yang berlebihan cuman bisa menyakiti diri sendiri Daf. Dan lo harus inget bahwa nangisin kepergian mama lo gak bikin beliau hidup kembali. Beliau gak mau lo sedih kaya gini. Mau sampai kapan lo kaya gini?"

Daffa rasanya seperti tertampar dengan omongan Jonathan. Sebulan terakhir, Daffa memang menjadi seorang yang melankolis. Menangisi setiap moment yang ia ingat tentang mendiang mamanya. Menghabiskan waktunya untuk mabuk dan membiarkan dirinya dengan leluasa menangis sepanjang malam.

Beberapa kali ia muntah darah karna terlalu banyak mengkonsumsi alkohol. Ia juga membatasi waktu dengan temannya, kecuali dengan Jonathan. Ia hanya bisa bercerita tentang apa yang ia rasakan dengan Jonathan. Mengingat mereka sudah berteman dari TK.

Malam itu Jonathan memutuskan untuk ikut minum menemani Daffa. Malam itu menjadi malam yang panjang. Keduanya saling melampiaskan apa yang mereka rasakan belakangan ini.

5 am.

Daffa bangun dengan perasaan yang lebih baik dari sebelumnya. Ia tidak mabuk semalam. 3 botol soju tidak membuatnya mabuk. Jonathan masih tertidur pulas. Ia memilih untuk mandi dan mengenakan kaos hitam, celana jeans dan hoodie milik Jonathan. Ia duduk di balkon kamar Jonathan dan memainkan game di ponselnya.

Tidak berselang lama, Jonathan bangun dan langsung membersihkan dirinya dan berganti pakaian. Jangan lupa bahwa minggu ini adalah minggu bebas. Tidak perlu mengenakan seragam.

"Daf, buryam yuk?" ajak Jonathan sambil menghampiri Daffa yang sedang merokok di balkon.

"Lo yang traktir tapi." tanpa butuh persetujuan Jonathan, ia berjalan mendahuluinya dan keluar ke garasi rumah Jonathan. Orang tua Jonathan belum terlihat bangun. Ia langsung menyalakan mobil dan menunggu Jonathan untuk masuk.

Setelah Jo masuk, mereka langsung melesat kearah warung bubur ayam terenak di Cikini. Daffa dengan prinsip bubur diaduk, dan Jonathan dengan prinsip bubur tidak diaduk.

"Aneh banget makan bubur gak diaduk" celetuk Daffa mencibir Jonathan yang tampak lahap.

"Tukang bubur naruh bubur dulu, baru kacang, ayam suir, bawang goreng, sambel dengn teliti dan lo tega gitu ngaduk? Kejam." sewot Jonathan. Daffa tertawa terbahak mendengar alasan Jonathan kali ini.

Perdebatan bubur diaduk dan tidak diaduk adalah hal yang wajib sebelum memakan bubur ayam. Sakral.

Setelah selesai makan, mereka langsung berangkat ke sekolah padahal jam masih menunjukkan pukul 6 pagi. Bisa jadi mereka adalah yang pertama datang.

--------

Gaaaah akhirnya part 2 selesai. Aku upload sampe part 2 dulu ya. Kalau banyak yanh mau lanjut, let me know! 🤘🏻

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Apocalypse.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang