BAB 3

11 2 0
                                    

Hiruk pikuk terasa sedikit mengganggu. Kota kecil ini mulai ramai. Sangat berbeda dengan enam tahun silam, ketika Jaya mengantar ibunya ke Pasar Klewer, saat orang tuanya masih tinggal di Jogja. Aroma asap lebih kentara, pohon rimbun tak mampu menyerap polusi sepenuhnya.

"Mirip Malioboro ya?" kata ibu Jaya waktu itu.

"Biar penasaran Mama hilang." Jaya malas sebenarnya, mengingat yang dikunjungi hanya pasar pakaian. "Masih lumayan, daripada pasar sembako," gerutu Jaya.

Saat ini, pria berkulit sedikit langsat itu mengemudikan mobil tanpa arah. Hanya berputar-putar mengelilingi kota tanpa tujuan. Mencari alamat, tapi tidak tahu alamat siapa. Ingin bertanya juga percuma. Gadis itu menjawab 'bukan' ketika Jaya menyebut namanya. Harapan terletak pada selembar kertas yang dia simpan. Kertas milik gadis berambut panjang yang terjatuh pada pertemuan mereka di Saba Buana.

Seharusnya bukan seperti ini. Ada sesuatu yang salah. Namun apa? Seandainya Jaya bertemu dalam keadaan lebih baik.

Oh, bukan. Bukan tentang diri Jaya, melainkan situasi yang tepat. Lalu seperti apa? Tidak ada, jika gadis itu adalah Clara. Sama sekali Jaya tidak mempunyai waktu yang tepat. Semua terasa salah.

Brosur hitam ditangan Jaya hampir membutuhkan papan setrika. Lusuh, tapi masih terbaca sedikit, terutama pada bagian alamat. Quin&King Wedding Organation. Berbagai pikiran melintas dalam kepala Jaya.

Pertama, jika itu adalah Clara, apakah dia akan menikah? Menggunakan jasa Quin&King, mungkin. Gadis itu sedang memesan gedung untuk pernikahannya. Pasti. Jaya sangat yakin akan hal itu, karena dia adalah Clara. Jaya mencoba meyakinkan dirinya sekali lagi.

Namun, apakah gadis itu bisa menerima hadirnya? Beberapa hari yang lalu saja, Clara lari begitu melihat Jaya. Apakah dia sengaja? Jaya menyugar rambutnya, melepas rasa berat di kepala. Seandainya dulu sesuatu tidak terjadi pada keluarganya, mungkin sekarang dia masih bersama Clara.

Jaya putus asa ketika mengetahui orang tuanya bangkrut. Semua aset terpaksa dijual.

Hidupnya seperti terhenti seketika. Gaji yang dia dapat tidak mampu menutup hutang keluarga. Jaya dihadapkan kepada dua pilihan. Menerima tawaran untuk bekerja di kapal pesiar, dengan resiko dia tidak bisa bertemu dengan Clara, atau berpacu dengan waktu untuk menemui kekasihnya dengan taruhan keluarga.

Jaya memilih tawaran untuk bekerja di kapal pesiar, sebagai asisten nahkoda pada saat itu. Dia berusaha mencari Clara sebelum berangkat mengikuti pelatihan. Namun, Jaya tahu betapa sibuknya gadis itu. Masa lembur sampai empat hari tak membuat harinya lebih santai.

"Jay, mau kemana?" sapa Erlin.
"Gue pamit, Lin. Clara mana?" Jaya mencoba peruntungan. Dia tahu Erlin tidak begitu akrab dengan Clara. Beberapa waktu mereka sempat berdebat.
"Oh, dia kirim laporan ke kantor pajak. Barusan berangkat."
"Lin, sampaikan ke Clara, kalo aku nyariin dia," ucap Jaya sebelum berlalu meninggalkan Erlin.

Ok, jika memang berjodoh, Tuhan akan adil terhadap hati mereka. Karena sejatinya manusia tidak ada yang tahu. Sekali lagi Jaya memantapkan langkah untuk memperjuangkan keluarganya.

Mungkin, ini saatnya Jaya harus memperjuangkan Clara. Benar, Jaya tidak boleh kehilangan untuk ke dua kali. Segera dia ambil brosur yang tersimpan pada dashboard dan membaca ulang alamat yang tertera.

Jika benar Clara telah menemukan penggatinya dan jika Clara memang bahagia dengan orang itu, maka Jaya akan mundur. Meski hatinya tidak pernah rela. Jaya ingin mendengar sendiri dari Clara.

Quin&King tercetak jelas sebagai brand dalam brosur itu. Seharusnya tempat itu bisa memberi informasi.

***

Quing&King Wedding OrganationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang