A Day In Autumn - Prolog

661 30 2
                                    

"Bunuh saja dia!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Bunuh saja dia!"

"Tidak!"

"Ayaahhh!"

"Tidaaakkk!"

HOSH

HOSH

"Sialan!"

Kau tahu bagaimana rasanya tidak diinginkan?

Aku tahu benar rasanya.

🌻🌻🌻

1

8 September 2019

Sebelum langit biru sempurna, Hana sudah mengayuh sepedanya menelusuri jalanan. Melemparkan koran ke dalam gerbang rumah-rumah, dan berhenti di beberapa tempat untuk menurunkan kotak susu yang kini sudah habis tak tersisa.

Hana tetap mengayuh sepedanya. Memasuki kawasan perumahan semakin dalam. Bersiul kecil dengan sebatang bunga Lily ditangannya. Memasuki gang sempit dan berhenti disebuah persimpangan jalan setelah melewati beberapa belokan.

Ia terdiam sejenak sebelum menyimpan sepedanya sembarangan. Berjalan ke tepi jalan dan menatap aspal yang sedikit basah sisa hujan semalam. Cukup lama. Hingga matanya berair karena tak melepaskan pandangannya sedikitpun.

"Sial!" Umpatnya sambil mengusap pipinya yang basah.

Hana kembali memandangi jalanan seolah dihadapannya terlihat hal lain selain mobil yang hilir mudik melewatinya. Pandangannya seolah kosong, namun jika dilihat secara seksama mata dengan hazel berwarna coklat itu menampilkan kegelapan.

"Jangan menghantui ku lagi." ucapnya sambil melempar bunganya ke tengah jalan. Tak peduli bunga yang ia lemparkan terlindas mobil yang lewat. Ia hanya berharap bunga itu hancur seperti ingatan yang selalu ia coba usir.

Ingatan yang secara paksa selalu muncul dan mengambil alih seluruh fokus dirinya. Membuat luka disetiap tubuh Hana tak pernah sembuh selama bertahun-tahun. Menguak fakta bahwa semenjak ia kembali bernafas, sejak saat itu pula ia hidup dalam kenyataan bahwa dirinya tidak pantas hidup tapi terlalu baik untuk mati. Hidup Hana adalah dosa besar.

"Tidak ada yang menginginkanmu. Kau hidup untuk orang mati, Hana!"

Riuh suara kepakan gerombolan burung merpati yang lewat membuat Hana tersadar. Ia mendongak menatap iringan burung melewati langit biru yang bersih sempurna.

"Apa sekarang kau sedang memperingatkanku bahwa ini tidak akan berakhir?"

Hana masih mendongak menatap langit dengan angkuh.

"Setidaknya kirim burung gagak untukku sebagai tanda kematian yang mendekat."

"Aku akan lebih menghargainya."

Hana mendengus kasar. Tertawa sendiri dengan perkataannya.

"Ah, benar. Aku tidak pantas mendapatkannya. Dunia tidak pernah adil padaku."

🌻🌻🌻🌻🌻

"Kau adalah perjalanan untukku. Dan kau adalah tujuannya. Maka jadilah tempat dimana aku tak perlu merasa khawatir akan kehilangan sedikitpun. Begitupun aku yang akan jadi sandaran terbaik mu."

A Day In Autumn

Salam pena,
Nanas

A Day In AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang