S U G A | 7

242 40 21
                                    

SUGA

"Apa yang salah dengannya?" Setelah gagal mengejar Suga—wah, dia berjalan seperti tentara di medan perang—akhirnya aku masuk ke dalam dengan wajah menekuk bagaikan kertas kusut. Jungwoo memandangiku. "Dia selalu saja dalam mood buruk."

"Kurasa dia merasa terganggu denganku."

Aku menggeleng. "Tidak. Dia memang seperti itu. Aku hanya bingung saja, normalnya di pagi hari mood seseorang itu bagus tapi kurasa itu tidak berlaku untuknya. Sayang sekali." Sewaktu aku hendak ke toilet, aku melihat bungkusan yang sepertinya kukenali.

Dia bahkan lupa membawa pakaiannya yang sudah aku cucikan!

Mereka ada benarnya juga; Suga itu sulit untuk dibaca perasaannya. Terkadang dia dapat begitu dingin tapi kadang jadi sulit untuk ditelusuri. Padahal kan, seingatnya, pagi tadi Suga masih dapat berkomunikasi dengannya.

*

*

Jungwoo sibuk mengantarkan beberapa pesanan ke sekitar kompleks tidak begitu jauh. Rae sibuk untuk menata beberapa supply yang baru datang dari truk pengangkut di depan sana. Aku perlu membantu Rae, tapi di balik konter aku perlu memindai banyak sekali barkode demi barkode belanjaan dengan antrean yang mengular. Kadang, aku merasa bersyukur dengan kesibukan seperti ini. Rasanya seperti hidup. Terkadang, duduk diam, mendengarkan orang lain atau memperhatikan sekitar hanya membuat bosan. Lebih dari itu, aku pun dapat menghasilkan untuk dompetku sendiri. Apalagi biaya sewa di hari ini tidaklah murah. Demi bertemu dengan Suga setiap hari, aku menyewa tempat di sisi kamar Suga.

Menyenangkan.

Mungkin aku terdengar seperti fans akut, atau mungkin orang yang terlalu fanatik? Tapi dengan menyadari bahwa aku hidup berdekatan dengan Suga sudah membuat hatiku berbunga. Mungkin ini kekaguman semata, atau mungkin hanya karena aku merasa bahwa dia orang yang cocok denganku. Mungkin saja.

Tepat setelah Ibu beranak dua menyingkir dengan bungkusan besar berisikan kotak-kotak susu, satu pria bertopi mendekatiku, membawa satu keranjang belanjaannya. Aku tersenyum kemudian melakukan tugasku.

"Waktumu tinggal sebulan lagi."

Aku tertegun di tempat, berhenti memindai seperti sebelumnya. Wajahku terangkat naik dan mendapati wajah berahang tegas dan tatapan menghunus dingin. Dia mengenakan jas hitam dengan kaus senada di dalamnya, tapi aku tahu betul bahwa dia bukan pengunjung biasanya. "Ma—maaf?" Aku melihat ke belakangnya, melihat banyak wajah yang kelelahan dan hampir gusar.

Melanjutkan pekerjaanku, aku kemudian membungkus belanjaannya kemudian mulai menghela napas. Setelah menyebutkan nominal yang perlu dia bayar, dia menyerahkan kartunya kepadaku. Selesai dari situ, aku pun kembali bertemu pandang dengannya.

"Kau tidak bisa menghindar terus menerus, Nona," katanya dan merenggut belanjaannya kemudian berlalu pergi.

"Hei! Apa yang kau lihat?" Rae bersimbah keringat kemudian turut membantuku membungkus. Dia menjulurkan lehernya karena aku terus memperhatikan pria misterius tadi. "Apakah ada masalah?"

"Ti—tidak."

[]

HEY, SUGA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang