S U G A | 5

214 38 5
                                    

S U G A

Rae menyentuh bahuku lembut. "Kau jadi pindah? Mengapa kau tidak menelponku untuk membantu? Di waktu malam, aku kan masih punya waktu setelah selesai dari toko." Aku menggeleng dan tersenyum. "Apakah pria itu yang membantumu?"

"Kejutan kan?" Aku menyeka keringatku. "Dia itu baik sekali, Rae. Dia bahkan mengizinkan aku mandi tempatnya, meminjam bajunya bahkan sarapan bersamanya."

"Benarkah? Mengapa semendadak ini?"

"Entahlah," kataku. "Mungkin dia akhirnya bisa didekati."

"Mustahil." Rae pun menyambut pelanggan yang abru muncul. Aku turut menyambut pelanggan lain, kemudian berdiam di balik kasir bersama Rae. "Kau pasti tengah mengarang cerita!" sambung Rae di sebalahku. Aku menggeleng cepat. "bagaimana bisa? Dia kan galak sekali denganmu."

Aku menyipitkan mataku, sengit. "Hei, dia tidak galak, hanya kadang-kadang sulit didekati."

"Ya! Pria mana yang terus saja membiarkan seorang gadis mengejarnya bagaikan si gadis itu tidak punay kehdupan?" Rae berdecak kesal. "Kalau dia punya akal dan sebaik yang kau pikirkan. Dia pasti sudah bertindak tegas dan menyuruhmu jauh-jauh. Hish, apakah dia bahkan tidak punya sedikit adab untuk mengatakannya secara langsung kepadamu bahwa perilaku seperti itu tidaklah wajar dari waktu ke waktu."

"Dia sudah melakukannya. Tapi aku yang bersikeras!"

"Kau pun membelanya saja."

Aku menggeleng, kemudian mulai meraih beberapa belanjaan pelanggan. Rae punya tugas memasukkan belanjaan itu ke plastik yang tersedia. Kami tidak berbicara selama banyak pelanggan berdatangan, berbelanja, dan terkadang menyapa kami dengan ramah. Aku melirik Rae yang masih bermuka masam, aku menyenggolnya pelan. "Dia baik kepadaku."

"Kau buta karena perasaanmu."

*

*

Jungwoo memandangiku beberapa saat. Bocah itu selalu saja berusaha untuk menarik perhatianku meskipun cara-cara yang ia lakukan malah berakhir membutaku terkekeh geli. Misalnya saja, dia dengan percaya diri membawa beberapa tumpukan barang tapi berakhir dengan kewalahan bahkan hampir terjungkal. Atau ketika dia berusaha memberikanku hadiah tapi berakhir dengan tidak terduga. Aku alergi dengan kacang, jadi saat dia memberiku cokelat dengan kacang di dalamnya, aku tidak bisa makan dan berakhir aku berikan kepada Rae. Jungwoo sebal, tapi aku berusaha menghiburnya dengan mengucapkan banyak terimakasih. Jungwoo anak yang manis.

"Noona, kau pindah?" Ia akhirnya memutuskan untuk bertanya. Aku agak terkejut karena dia butuh lima belasmenit untuk angkat bicara. "Mengapa tidak memberitahuku? AKu kan bisa membantu."

"Ini bukan hal besar. Lagipula tempat lamaku memang tidak begitu nyaman. Aku juga ingin di tempat yang baru ini karena lebih murah. Aku suka juga karena letaknya strategis dengan toko ini."

Jungwoo mengangguk. "Kau mau aku berkunjung?"

"Uh? Hari ini?"

"Kita akan mampir ke toko kue dahulu, lalu makan bersama di sana, bagaimana?" tanyanya lembut. Aku berpikir untuk beberapa saat, sementara Jungwoo sudah memandangiku. "Kumohon. Ini tidak akan lama. Aku tahu adab bertambu."

Aku osntak terkekeh. "Bukan begitu. Di sana masih banyak yang berantakan, aku takut kau terganggu."

"Astaga! Kau bercanda? Kita bahkan akan menatanya bersama-sama." Jungwoo menarik senyuman lebar. "Ayo, izinkan aku berkunjung." Dan mereka benar bahwa sepasang mata Jungwoo punya daya tarik yang aneh; membuatmu luluh dalam beberapa menit. "Okay?"

*

*

Suga berpapasan dengan kami. Dia nampak lesu dengan raut wajahnya tertekuk seperti itu. Aku hendak mengangkat suara, namun dia sudah memperhatikan Jungwwo di sebelahku. Kemudian, tanpa basa-basi, dia melewati kami menuju tangga yang ada. Jungwoo melirikku. "Itu siapa? Kau kenal?"

"Ah, dia tetanggaku." Dia SEPERTINYA mendapatkan masalah. Aku langsung mengajak Jungwoo untuk menyusul Suga, menaiki tangga agar kami sampai. Aku sempat melihat Suga yang repot memegang ponsel dan merogoh saku untuk mencari kunci. Namun, karena ada Jungwoo, aku menahan diri untuk tidak membantunya atau membuatnya terusik karena perhatianku. Aku justru membuka pintuku dan mengajak Jungwoo masuk. Kami tidak banyak bicara, Jungwoo yang lebih banyak bercerita dan makan dengan lahap. Aku tertawa lepas karenanya.

"Aku akan mampir lagi nanti," katanya di dekat persimpangan. Waktu sudah beranjak malam. Aku takut dia kena flu, begitu pun Jungwoo yang sadar bahwa Ayahnya sudah menelpon lebih dari enam kali. "Sampai jumpa nanti, Noona." Aku melambaikan tangan sampai hilang dari pandanganku. Ketika aku beranjak ke kamar flatku lagi, Suga sudah berada di balkon. Dia menoleh kepadaku namun tidak berkata apapun. Seperti mengawasiku sedaritadi. Aku ingin percaya diri bahwa dia merasa terusik karena aku berdekatan dengan Jungwoo. Tapi rasanya konyol.

Ketika aku hendak masuk, aku mendengar suara pintu yang terbuka. Kulihat Suga mendekatiku, kini dia berjalan lebar-lebar. "Pakaianku, apakah sudah kau cuci?" tanyanya, mendadak. Aku tergelak di tempat. Seolah membaca perubahan ekspresiku, Suga berdeham. "Itu pakaian favoritku, aku tidak mau dia menginap di tempatmu terlalu lama."

"Oh, maaf, besok pagi akan aku antarkan."

Suga mengangguk. "Yang tadi itu ... temanmu?" Aku kembali tergelak. Suga mulai menggaruk tengkuknya. "Aku hanya bertanya, jangan diambil psing." Dia sudha erbalik pergi lag, meninggalkan seribu tanda tanya di pikiranku.

Dia peduli?

Aku setengah tersenyum namun masing diliputi rasa bingung. Aku pun memekik. "Ya, temanku. Jangan cemburu seperti Pak Tua yang posesif begitu. Aku kan masih setia denganmu." Suga sejenak menghentikan langkahnya. Dia hanya menggeleng singkat kemudian masuk kembali ke kamarnya. Aku tersenyum simpul lantas turut masuk ke dalam kamarku.

Dia mengejutkan.

[]

HEY, SUGA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang