Kota Lama

27 5 0
                                    

Aku Kimi. Usia 15 tahun. Please, jangan sok tahu dan ingin banget tahu tentang aku. Setelah menerima surat pernyataan kelulusan dan aku dinyatakan lulus, aku akhirnya bisa sedikit bebas. Hasil? Nggak usah nanya. Berapapun hasilnya, mama nggak akan bilang “bangga” sama aku. Tapi salahku juga, sih. Aku nggak bisa membanggakan orang tua. Jumlah nilai ujian nasional-atau yang biasa disebut dengan nem-yang aku dapatkan cuma tiga ratus delapan puluh lima. Aku bukan peroleh nilai terbaik sekabupaten, bukan juga sekelas, apalagi seangkatan. Tapi, anak mana yang nggak berharap dipuji mamanya? Anak mana yang nggak berharap diangkat mamanya ketika ia merasa jatuh? Gimanapun, harusnya aku nggak berharap mama, ah udah lah.

           “Kim, udah siap? Cepet turun, kita mau berangkat,” teriak papa dari lantai bawah.

Aku ada di kamarku saat ini, di lantai dua. Kami sekeluarga akan berangkat ke Semarang, ke tempat kakek. Aku langsung turun membawa tas sambil mendengarkan musik yang mengalir melalui headset yang terpasang di telingaku. Aku masuk ke mobil duduk di kursi belakang, tak akan ada yang menggangguku di sana. Setelah menempati posisi duduk paling nyaman-dengan tubuh bersandar pintu mobil dan kaki lurus di atas kursi penumpang- kubesarkan volume suara musik sehingga tak terdengar satupun suara selain lagu yang berputar. Kulihat papa dan mama sedang berbincang serius. Aku tak mendengar percakapan mereka. Koreksi. Aku tak ingin mendengar percakapan mereka.

           Baru satu jam perjalanan, mulutku sudah mulai menguap, mataku terasa berat, berair, dan terpejam. Aku tertidur dalam perjalanan ini. Dengan musik yang masih berputar dan AC mobil yang mendinginkan seluruh tubuhku. Dugg. Kepalaku terbentur pintu mobil. Aku terbangun dan langsung melihat jam. Saat ini pukul dua belas tiga puluh, sudah satu setengah jam aku tertidur.

“Ma, pa ini sampai mana ya?” tanyaku sambil melepas headset.

“Udah bangun, kim? Kita baru aja sampai Demak. Kamu jatuh nggak apa-apa, kan?” jawab mama.

“Iya, nggak apa-apa,” kataku menjawab pertanyaan mama.

Papa yang menyetir mobil menghentikan laju mobil di depan sebuah rumah makan. Rumah makan yang sederhana, tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit, berwarna hijau toska dengan spanduk bertuliskan nama rumah makan di jendelanya.

“Wah, udah lama nggak makan satu tempat gini, ya?” kataku ketika melihat kedua orangtuaku mulai sibuk dengan ponselnya masing-masing. Mereka kemudian bertatapan. “Kim, ini mama sama papa lagi kerja lho,” kata mama memberiku pengertian.

“Bukannya hari ini semua pekerja diliburkan ya? Inikan hari raya idul fitri. Papa sama mama nggak punya hari libur kenapa harus bela-belain pergi ke Semarang sama Kimi? Kimi udah besar ma, pa. Kimi bisa pergi ke Semarang sendiri kok,” kataku pada mereka.

Jujur, sebenernya aku nggak kuat ngomong gitu ke mama sama papa. Aku juga pingin banget liburan sama mereka seperti halnya anak-anak pada umumnya. Aku juga bukan anak yang pandai bergaul. Aku nggak punya temen di sekolah, misalkan punyapun mereka pasti menyisihkan waktu seperti saat ini untuk keluarga mereka.

“Kimi kan tau, mama sama papa kerja dapet uang. Buat siapa? Buat Kimi juga, kan?” jawab mama dengan kelembutannya. Setelah itu makanan yang kami pesan sudah tersaji di atas meja. Aku segera menghabiskannya lalu pergi ke kamar mandi. Memasang headset, memutar lagu, lalu menangis. I know that, mom. Tapi aku juga butuh perhatian kalian. Uh. Oke Kimi, you can do it. Kamu kan sudah sangat terbiasa. Jadi, kamu pasti bisa merelakannya. Aku segera menghapus bekas aliran air mata yang jatuh di pipiku. Setelah memastikan tak ada bekas tangisan yang tertinggal, aku segera keluar dari kamar mandi dan masuk ke mobil. Aku mematikan musik yang aku putar dan berganti memainkan game yang ada di ponselku. Mobil mulai melaju. Setelah bosan bermain, kututup mataku dan mencoba tidur. Terbang melayang di mimpi yang indah. Ini bukan sekadar pelarian, kau tahu. Tidur adalah cara terbaik melupakan hal yang tak ingin diingat dengan berada di mimpi yang indah. Rasanya tak ingin kuterbangun.

Kota LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang