Terimakasih

19 11 0
                                    

Setelah beberapa saat aku bertarung bantal dengan Om Billy, akhirnya dia menyerah. Dia memilih pergi ke taman kota, hanya untuk sekadar mencari angin di malam yang cukup dingin ini. Sebenarnya aku meminta untuk ikut, namun Papa melarang aku keluar. Karena dia tak mau aku kenapa-napa diluar sana.

Karena tak punya kerjaan lain untukku kerjakan. Aku memilih bermain ponsel di kamarku, bersama Zaskia.

Sepupuku itu tengah asyik menatap jendela yang berhadapan langsung dengan dunia luar. Dia hanya menatapnya kosong. Entahlah, dia seperti tengah melamunkan sesuatu. Terduduk diam melamun di atas karpet lantai kamarku, sangat aneh.

"Hey, kau tidak dingin disitu? Kemarilah! Diatas sini lebih baik." Ku lambaikan tanganku beberapa kali ke arahnya.

Awalnya dia hanya menatapku, setelah kulambaikan kembali tanganku, dia berdiri dan berjalan menuju ke arahku. Duduk disisi ranjang kasur. Ku tatap matanya, hingga dia sadar bahwa dia tengah ku perhatikan.

"Ada apa?" Dia menatapku balik.

"Aku ingin berbincang-bincang denganmu. Ku lihat, kau diam saja dimeja makan. Dan ketika aku bertarung dengan om-om sialan itu. Kenapa? Hihi, jangan bicarakan ini padanya, ya!" Aku menutup mulutku dengan telapak tangan.

"Gapapa, cuma aku nggak suka ngomong sama orang-orang." Ucapnya lirih.

"Oh, kenapa tak suka? Berbicara itu menyenangkan. Kita bisa bersosialisasi dengan banyak orang. Mendapat banyak informasi dan menambah wawasan." Tiba-tiba kenapa aku berubah seperti seorang wartawan.

"Aku, aku malu." Zaskia tertunduk.

"Tak apa. Baiklah kalau kau tak suka dengan orang banyak, kau boleh ceritakan apa saja padaku. Tenang saja, aku tak akan menceritakan pada yang lain."

"Janji?"

"Janji!"

"Terimakasih Ody!" Seketika itu dia langsung memelukku.

Tak beberapa lama, dia dan orangtuanya kembali ke rumah untuk beristirahat.

🍁🍁🍁

"Ody, ini jam berapa? Bangun, sayang. Dzafar sudah menunggumu dari pagi. Ingat! Ini hari pertama kamu sekolah. Jangan buat Mama malu!" Mama berteriak amat kencang hingga membuatku terkejut setengah mati. Astaga, beruntung saja dia Mamaku.

"Aku sudah bangun, Mama." Aku mulai bergegas menyiapkan seluruh peralatan sekolah dan lain sebagainya.

"Di meja ada roti dan susu. Makanlah sebelum berangkat! Jangan lupa berbagi dengan Dzafar. Mama harus pergi ke rumah sakit dengan Papa. Jaga diri baik-baik, Sayang." Kemudian terdengar langkah Mama pergi ke luar rumah.

"Baik, Mama." Mama memang cerewet sekali.

Setelah semua siap, aku turun untuk sarapan bersama Dzafar yang ternyata sejak pagi ia menungguku di ruang tamu. Ya Tuhan aku sangat malu padanya, hehe. Ketika aku menuruni tangga, terlihat Dzafar menatap ke atas dan tersenyum padaku. Dengan segera ku balas senyum manisnya itu.

"Selamat pagi, Meyrin!"

"Pagi, maaf aku terlalu lama dikamar. Mari makan bersamaku."

Dia hanya tersenyum menatapku dan menganggukkan kepalanya sedikit.

"Kalau kau tak makan, aku juga tidak akan makan." Ku silangkan kedua lenganku didepan dada.

"Oke-oke. Cuma demi kamu."

Kami pun menghabiskan roti yang tersedia meja makan. Kemudian bergegas keluar untuk berangkat sekolah. Sungguh awal hari yang indah. Kami berjalan bersama menuju sekolah. Yang kutahu, dia hanya mengantarku ke sekolah. Lalu, untuk apa dia memakai seragam sekolah? Dasar aneh.

Ketika sudah sampai di sekolah, kami masuk bersama.

"Tunggu sebentar, jadi kamu sekolah disini juga?" Aku menatapnya heran.

"Tentu saja, itulah alasan kenapa aku menjemputmu. Oh ya, kalo kamu butuh aku, temui aku dikelas 3-D. Kelasnya dipojokkan, dekat lapangan bola."

"Oke, baiklah. Terimakasih."

"Eits, bentar. Ga usah ngomong tidak dan tak. Ganti pake ngga dan ga. Paham? Kamu ini terlalu lugu. Hahaha!" Dia tertawa kecil, andai saja bisa ku hajar dia.

"Yayaya, apalagi yang harus ku ganti?"

"Tinggal ikuti cara bicara orang-orang disekitarmu. Itu cukup membantu." Setelah itu dia pergi ke kelasnya, sedangkan aku ke ruang guru untuj mengetahui dimana ruang kelasku.

Saat berjalan di koridor, orang-orang disekitar selalu memperhatikanku. Entahlah, apa yang sebenarnya mereka perhatikan. Tapu rasanya malu sekali menjadi pusat perhatian seperti ini. Belum lagi, mereka sekarang mulai bertatapan dan berbisik. Seperti tengah membicarakanku sebagai murid baru di sekolah ini.

Tiba-tiba, aku bertemu dengan seorang pria tua yang mungkin salah satu guru di sekolah elit ini. Pria tua itu mendekatiku dan bertanya beberapa pertanyaan yang sebenarnya malas ku jawab.

"Nak, mau kemana? Ini sudah hampir masuk lho. Kok masih disini."

"Anu, saya... Saya murid baru disini. Saya belum tahu harus masuk kelas mana. Jadi, saya mau ke ruang guru untuk menanyakan dimana kelas saya, Pak." Aku tersenyum padanya.

"Oh, begitu toh. Kamu mau ke ruang guru, kan? Kalo gitu bareng sama Bapak saja. Bapak juga mau ke sana." Dia merangkulku dengan lembut.

"Eh baik, Pak. Terimakasih." Kamipun berjalan bersama menuju ruangan penuh guru-guru itu.

"Sama-sama. Ngomong-ngomong, nama kamu siapa, nak? Kok kayak baru lihat."

"Audy Angelina Meyrin, Pak. Panggil saja, Ody."

"Kalo dilihat-lihat, kamu ini cantik, ya. Tapi kok Bapak heran."

"Kenapa, Pak?"

"Kamu itu keturunan Muslim, kan? Kok wajahmu kayak Londo."

"Londo? Apa itu, Pak?"

"Orang Belanda. Disini nyebutnya Londo."

"Aduh, gimana ya, Pak. Jadi begini, orangtua saya itu, dulu berbeda kepercayaan. Papa saya asli orang sini. Sedangkan Mama saya keturunan Belanda-Jerman. Lalu, Mama sama Papa ketemu di Finlandia. Mereka jatuh cinta. Namun, karena berbeda agama, mereka ngga bisa bersama..."

"Tunggu-tunggu. Jadi, kamu anak hasil perko.."

"Bukan, Bapak. Saya kan belum selesai cerita. Karena Mama saya sudah terlanjur cinta pada Papa yang seorang Muslim. Mama pun rela masuk Islam demi bisa menikah dengan Papa. Begitu ceritanya, Pak."

"Oh, maaf-maaf. Eh, ngga kerasa udah nyampe aja. Ayo masuk!"

Ku sunggingkan bibirku kembali padanya. Dan kamipun masuk ke ruangan tersebut. Bapak tadi menanyakan pada guru-guru di sini, siapakah yang menjadi wali kelasku.

Dia orang yang baik, perhatian pula. Walau sebenarnya aku malas menjawab pertanyaan yang jawabannya akan panjang-panjang seperti tadi. Oh ya, kira-kira siapa nama bapak tadi, ya. Aku belum sempat melihat papan namanya.

Ok jangan lupa vote, komen, dan share cerita ini!!!:3

My Secret ❣Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang