"APA MAS AKAN NIKAH LAGI?"
— Dandelion
“Udah berapa bulan, Buk?” Ibu Penjual di seberang bertanya pada ibu-ibu di sampingku. Perutnya membuncit besar, sesekali tangan yang tadi asik memilah sayuran, berganti mengelus perutnya penuh lembut.
Aku mulai tidak suka dengan bahasan mereka.
“Sudah jalan enam bulan, Mak,” jawab Ibu Hamil itu, lalu sekilas melirik ke arahku.
Lirikan yang entah.
Aku cepat memasukkan sayur bayam, minyak goreng dan beberapa belanjaan lain ke dalam keranjang. Wajahku pias, tak bisa menyembunyikan kesal.
Setelah membayar aku langsung pergi dari lapak itu.
“Kasian ya, Buk. Dia sudah berumahtangga sepuluh tahun, tapi belum juga ada tanda-tanda kehamilan. Apa jangan-jangan dia mandul?”
Masih terdengar lirihan itu. Lirih, tapi seakan memekak telinga. Panas sekali. Sakit!
Usia pernikahanku dengan Mas Hikam sudah menginjak kepala satu. Tapi amanah itu belum juga datang ke keluarga kecil kami. Berbagai macam pengobatan dari mulai medis, alternatif sampai usaha menjaga asupan makan, telah kami lakukan. Dokter bilang tak ada masalah bagi kami berdua, tapi apa mau dikata, mungkin memang belum waktunya.
Setiap hari aku harus menyiapkan mental ketika keluar untuk membeli sayuran. Omongan tentangku dari tetangga seperti tak pernah ada baiknya. Sakit hati, juga tertekan. Lagian di dunia ini, siapa sih yang tak menginginkan keturunan?
Terus kupercepat langkah. Berusaha tak membalas tatapan mereka, tetangga-tetangga yang melihatku seakan semua yang kuperbuat selalu salah.
“Kenapa dia nggak ngadopsi anak saja, ya Buk?”
“Kasian suaminya. Pasti dia merasa kecewa karena sudah menikahi Iryah.”
“Jangan begitu, Buk. Boleh jadi itu karma karena dia dulu merebut Hikam dari pacarnya.”
Omongan seperti itu hampir tiap hari masuk ke telinga. Selalu berusaha tak mendengar, tapi selalu saja menemukan jalan menuju gendang telinga. Pedih.
Sesampai di rumah, wajahku semakin pias. Datang dan disambut Mbak Tri, membuat hatiku semakin perih saja. Dadaku menciut langsung melihat dia main ke rumah.
“Lho, Mbak Tri main ke sini, ya? Sini biar aku aja yang ngajak main Raka,” mencoba ramah, berusaha bersikap baik-baik saja, aku menyapa Mbak Tri yang menggendong Raka, anaknya.
“Ndak usah, nanti anakku nangis lagi. Kamu mana tau cara ngurus bayi.”
Ketus sekali. Perih di dalam sini.
Aku hanya diam. Tanganku gemetar menahan ketusnya tadi. Sementara itu Mas Hikam datang dan mengalihkan pembicaraan. Mengedipkan mata agar aku segera masuk ke dapur saja.
Aku mengangguk. Kemudian beranjak ke dapur membawa belanjaan.
“Hikam, sebaiknya kamu ceraikan saja istrimu itu. Atau gini saja, kamu nikah lagi sama Dewi, pacarmu dulu. Aku denger-denger dia baru aja cerai sama suaminya."
Lirih kudengar kata Mbak Tri ke Mas Hikam, saran untuk menikah lagi. Jangan ditanya, seperti apa keadaan hatiku saat ini. Remuk.
Tapi benar juga, wanita yang tak bisa memberikan anak bagi suaminya punya hak apa untuk melarang dia menikah lagi?
Sejenak kuhentikan langkah, menunggu apa jawaban yang akan diberikan Mas Hikam pada Mbak Tri.
Tak terdengar balasan, kulirik wajah Mas Hikam dan dia hanya tersemyum. Senyum yang entah.
Malam datang.
Aku menyembunyikan sedih di balik selimut, menunggu Mas Hikam datang. Ada yang ingin kutanyakan padanya mengenai pertanyaan Mbak Tri tadi siang.
“Mas,” ucapku pada Mas Hikam tanpa menolehnya, aku takut.
Takut dengan apa yang akan jawabannya nanti.
Takut karena memang yang dikatakan Mbak adalah kebenaran.
Takut akan masa depan yang harus membagi hati dengan wanita lain.
“Iya, Dek?” jawabnya, lalu ikut berbaring di sampingku.
Sedetik, dua detik, hingga setengah menit, aku masih terdiam. Bibirku keluh, ego dan rasa tak berdaya menahan pertanyaan di dalam hati.
“Ada apa, Dek?” Mas Hikam balik bertanya. Mungkin dia khawatir akan bagaimana perasaanku.
“Tidak, tidak ada apa-apa kok, Mas.”
Akhirnya aku lebih memilih untuk menyimpan pertanyaanku. Aku masih belum berani mendengar jawaban dari Mas Hikam nantinya.
“Ya sudah, ayo tidur,” suruhnya, lalu menarik selimut.
“Mas, apa Mas akan nikah lagi?”
Aku tak tahu, kenapa pertanyaan itu langsung berucap dariku. Pertanyaan yang paling kutakuti.
Mas Hikam tidak terkejut. Mungkin sedari tadi dia juga ingin membahas mengenai ini. Dia tahu, aku juga mendengar pertanyaan Mbak Tri tadi siang.
Dia menolehku, menatap lembut tepat di pandangan mata kami. Tersenyum.
“Memangnya suamimu ini gantengnya udah kebangetan apa? Hingga istriku sampe berpikir kalo suaminya bakalan nikah lagi?” jawab Mas Hikam mencolek ujung hidungku.
“Tidak, Iryah. Aku takkan pernah menduakanmu. Jadi jangan pernah sekalipun kamu berpikir seperti ini lagi. Kamu satu aja udah bikin aku rep—”
“Apa!” bentakku. Rasa takut dan khawatir di hati langsung menguap begitu saja. Mas Hikam memang hebat dalam memperbaiki suasana hatiku.
Sedetik kemudian Mas Hikam dan aku tertawa bersama.
Aku lega sekali mendengar itu dari Mas Hikam. Serasa semua beban di hati jadi hilang. Ringan saja semuanya.
“Dek,” sambil merangkulku, “mulai malam ini, kita sholat malam, yuk? Mungkin kita telah banyak melakukan pengobatan alternatif, menjaga asupan makanan. Tapi anak itu kan titipan dari Allah, boleh jadi kita harus meminta langsung dari Yang Punya. Kita berdoa agar cepat diberi momongan.”
Aku tersenyum, lalu mengangguk mengiyakan. Mungkin apa yang dikatakan Mas Hikam ada benarnya juga. Terkadang kita berusaha, melakukan itu-ini, tapi malah melupakan yang paling penting. Berdoa.
Sejak malam itu kami terus bangun malam, berdoa, bermunajat pada Allah tentang apa yang kurang pada hidupku dan Mas Hikam.
Bangun jam tiga dini hari, mengambil wudhu, lalu shalat enam rekaat. Tahajud dan hajat. Lalu sambil menunggu subuh, pelan kami berdua membaca Al-Quran. Indah sekali keluarga kami, rasanya tentram di dalam hati.
Pagi menjelang, setelah kusiapkan makanan. Terdengar suara pintu diketuk.
Mas Hikam menolehku, meminta agar membukakan pintu.
Siapa tamu pagi-pagi begini?
“Mbak Tri?” ucapku seketika. Agak sedikit bingung karena kali ini Mbak Tri bukan hanya membawa Raka, ada wanita lain di sisinya. Kira-kira wanita ini seumuran denganku, hanya terlihat lebih seksi dengan rok setinggi lutut yang dikenakannya.
“Oh iya, kenalin Iryah, ini Dewi. Dan Dewi, ini Iryah.”
Dewi? Aku seperti tak asing dengan nama ini. Sejenak aku mencoba mengingat-ingat. Masih belum ketemu.
“Si-silahkan masuk dulu, Mbak. Kita sarapan sama-sama.”
Aku, Mas Hikam, Mbak Tri dan Dewi sarapan bersama pagi ini.
Sedikit ada sayatan di hati, saat kukira semua sudah berakhir. Biduk rumah tangga kami kembali seperti ada ombak yang ingin menerjang. Akhirnya aku ingat, Dewi adalah mantan Mas Hikam yang dulu pernah disaranin Mbak Tri untuk menikah dengannya.
Makanan yang masuk ke mulutku terasa hambar. Lalu tiba-tiba kepalaku berasa berat sekali. Pening, pusing, campur aduk.
Tubuhku melemas, dan pada akhirnya aku mulai tak sadarkan diri.
***
Aku mengerjab beberapa saat, sedetik berlalu, pandanganku masih terlihat samar-samar. Lalu detik berikutnya dapat kulihat dengan jelas. Aku terbaring di ranjang besi bercat putih, berselimut tipis biru abu-abu.
Aku di rumah sakit.
“Gimana, Dok, keadaan istri saya?” tanya Mas Hikam dengan nada khawatir. Kepalaku sudah tak sepening tadi.
“Istri Bapak tidak apa-apa, hanya butuh istirahat dan jangan dibuat mikir yang berat-berat,” jawab dokter itu, lalu mengulurkan tangan, “dan selamat, istri Bapak sudah mengandung selama tiga bulan.”
Aku tak percaya dengan apa yang terdengar barusan.
“Beneran, Dok, istri saya hamil?” tanya Mas Hikam penuh semangat. Mencoba memastikan kalau apa yang didengarnya tadi bukan kesalahan.
“Iya, Pak. Selamat.”
Mas Hikam langsung memelukku. Penantian selama sepuluh tahun, akhirnya hari ini datang juga. Aku senang sekali, alhamdulillah ya Allah, terima kasih atas segala nikmat yang Kau beri.
═══════════════════
Silahkan di-share, di-copas, tapi tolong tetap cantumkan nama penulis.
— Dandelion