"Ayo terus, Buk! Sedikit lagi." Suster di bawah terus-menerus menyemangatiku agar tetap mengejan dan mendorong sekuat tenaga.
Sakit.
Terasa sakit sekali di beberapa bagian tubuh. Pinggul, paha dan juga pangkal pahaku terasa nyeri. Uluh hati di dalam pun ikut merasa nyeri tak tertahankan. Seperti ingin muntah. Bukan itu saja, dinding vaginaku seperti terbakar, panas sekali.
Tak ada yang bisa kulakukan lagi selain memanjat doa dan mencengkeram pinggiran ranjang kuat-kuat. Pikiranku melayang entah ke mana. Peluh membasahi wajah dan ... terus mengejan semampuku.
Jabang bayi ini sudah terasa keluar dari mulut rahim.
"Ayo, Buk ... terus! Kepalanya sudah keliatan," kata suster menyemangati.
Panas.
Panas dan nyeri yang teramat kurasakan secara bersamaan.
Hingga suster yang membantu proses persalinan menekan perutku perlahan, membantu mengeluarkan si jabang bayi.
Detik-detik yang terasa lama dan menegangkan itu akhirnya usai. Rasa sakit serasa terbakar tadi menguap begitu saja ketika mendengar suara tangis bayi. Meski dinding rahimku kala itu masih merasakan nyeri yang teramat karena harus mengeluarkan ari-ari. Hati yang berbunga, seakan menghapus semua sakitnya.
Beberapa detik aku sempat kehilangan kesadaran. Lalu dengan tenaga yang tersisa, aku berusaha berujar,
"Anak saya, mana, Bu?" tanyaku lirih pada suster yang tadi membantu persalinan.
Pandanganku mengedar, samar-samar kulihat bayi mungil dalam gendongan suster akan diberikan padaku.
Tapi sayang, bahagia di wajahku. Tak tampak pula di wajah suster yang menolongku.
Kulihat wajah suster itu seketika berubah, menekuk senyum yang tadi terlukis di separuh wajah. Bukan murung, hanya saja seperti ada rasa kaget dan kecewa di garis wajahnya.
Dia memberikan bayi mungil itu padaku pelan,
"Buk, anak Ibu ...," ungkapnya tertahan.
Sedetik berlalu. Menyisakan lengang di ruang persalinan.
Ada yang retak di dalamku. Seperti vas bunga yang tak sengaja dijatuhkan dari ketinggian. Hatiku remuk, pecah seketika. Betapa tidak, kulihat iris mata anakku tak seperti kebanyakan bayi lainnya. Irisnya membulat, berwarna putih.
Putriku buta.
Beberapa saat kemudian Mas Musa datang. Dia tersenyum tegar. Tangannya menggenggam jemariku erat, ia tahu apa yang menimpa putri kecil kami. Apa yang menimpa hati dan keluarga kecil kami.
Dia mengelus lembut ujung kepalaku, "Tak apa, mungkin Allah punya hadiah yang amat baik bagi putri kita kelak. Insya allah, dia ini putriku. Anak kita Widya. Esok lusa, pasti dia akan membuat kita bangga. Pasti."
Di saat inilah aku merasa menjadi istri paling beruntung di dunia. Mas Musa tidak menyalahkan aku, istrinya. Tidak pula menyalahkan takdir atau Tuhan sekalipun. Melainkan pasrah dan menyemangati sepotong hatinya, bahwa apa pun skenario yang Allah berikan, maka itulah sebaik-baiknya alur kehidupan.
Tujuh tahun berlalu.
"Ummi!" Khatimah terbangun dari tidurnya, pandangannya menatap lurus ke depan, menatap kosong di hadapan. Ia tak tahu harus memandang ke mana. Saat anak lain menutup mata mereka kala takut, berusaha agar ketakutan itu hilang dalam gelap, Khatimah justru sebaliknya. Ia ingin membuka mata, agar takut itu lenyap dari dalam dirinya. Saat anak lain bisa melihat wajah ibu mereka, meminta tolong dan berlari kala ketakutan. Khatimah tak bisa melakukan itu. Dia hanya bisa menatap kosong ke hadapan.
Aku mendekap Khatimah, erat.
"Kamu tak perlu takut Nak, Ummi di sini," semakin kueratkan dekapanku, "Ummi di sini. Tak ada apa-apa. Kamu yang tenang ya sayang?" Kupeluk ia, lalu kugenggam tangan Khatimah. Tangan mungilnya bergetar.
"Tak ada apa-apa, Sayang" Aku mencoba untuk terus menenangkannya. Akhir-akhir ini Khatimah sering sekali mimpi buruk, padahal hanya berupa suara, tapi itu amat menyeramkan bagi gadis kecilku.
Jika kalian tahu, orang-orang yang buta sejak lahir, mereka takkan pernah bisa bermimpi. Bunga tidur itu tak mau menemani tidur lelap orang-orang semacam ini. Hal ini dikarenakan mereka yang buta sejak lahir tak pernah melihat warna dunia. Tentu saja, hal ini berpengaruh sekalipun pada mimpi.
Bagaimana mereka bisa bermimpi, mimpi tentang apa? Selama ini yang mereka lihat cuman gelap, gelap dan gelap.
Ini juga yang membuat Khatimahku tak pernah bisa melihat apa pun. Dia tak bisa melihatku, ibunya, walau hanya dalam mimpi.
Mereka yang buta sejak lahir lebih sering memimpikan suara-suara—banyak dari itu adalah mimpi buruk. Kemarin lusa Khatimah mendengar pertengkaran di televisi, teriakan dan bentakan. Piring dan perabot rumah tangga dilempar pada scene itu. Nahas, itu terekam dalam memori Khatimah dan sialnya, itu menjadi sebuah mimpi buruk bagi gadis kecilku.
"Ummi, Khatimah takut, Ummi. Khatimah takut." Dia balas memelukku tak kalah eratnya. Bukan tangan saja yang bergetar, kepalanya bergidik dan intonasi suara Khatimah patah-patah.
"Tak apa, Nak. Tak ada apa-apa kok." Aku terus meyakinkan, bahwa semua baik-baik saja. Semua aman terkendali. Tak ada yang perlu ditakutkan.
Tanganku berpindah mengelus rambut panjang terurai gadis kecilku,
"Mm-mau Ummi dongengin ndak, Sayang?" Aku mengalihkan topik. Berpikir sejenak, "Sebuah dongeng tentang ... surga."
Khatimah balas mendekapku erat, sedetik kemudian ia mengangguk mencoba untuk mengatasi rasa takutnya sendiri. Kuanggap itu jawaban 'Ya'.
Aku melepas dekapan, duduk di ranjang membenarkan posisi agar nyaman. Khatimah pun mengikuti.
"Esok lusa, setelah kita meninggal, ada sebuah kehidupan lagi, namanya kehidupan akhirat. Di sana manusia akan dimasukkan ke dalam dua tempat sesuai dengan amal perbuatannya semasa hidup di dunia. Mereka yang suka berbuat jahat dalam hidup, suka berbohong, sering melukai orang lain akan dimasukkan ke dalam neraka—"
Ceritaku terputus. Tiba-tiba aku terpikir sesuatu, jika kuceritakan tentang neraka, Khatimah bukannya membaik, dia akan semakin takut. Tak ada mimpi yang lebih menyeramkan dari neraka.
"Kenapa Ummi?" tanya Khatimah penuh heran. Gemetar di tangannya berangsur hilang. Berganti rasa penasaran.
"Tidak apa-apa kok, Sayang," jawabku, kemudian melanjutkan cerita, "dan mereka yang baik akan dimasukkan ke dalam surga." Aku langsung beralih ke dongeng tentang surga
"Kamu tahu surga itu apa, Sayang?"
Khatimah menggeleng. Ia belum tahu apa itu surga.
"Surga itu tempat di mana segala yang kita inginkan dapat dikabulkan. Di sana, segala yang kita impi-impikan bisa jadi kenyataan."
Ingin kutambahkan pula, 'Tempat yang indah, adem, asri, sejauh mata memandang. Penuh air sungai yang mengalir jernih dan pada bidadari-bidadari cantik jelita'. Tapi kuurungkan, Khatimahku tak bisa melihat. Deskripsi ini hanya akan membuatnya bingung saja.
"Apa ... di surga Khatimah bisa melihat wajah Ummi? Bisakah Khatimah tahu, kalau Khatimah juga sama cantiknya seperti Ummi?"
Seperti tetes embun yang mengalir lembut di tepian daun, kemudian tetesnya turun, jatuh dari ketinggian. Seperti itulah Hatiku runtuh. Air mataku menetes seketika. Bukan retakan, melainkan sebuah kekaguman dan haru dalam hati.
Kala orang lain menginginkan surga untuk sebuah kenikmatan abadi, agar bisa merasakan kebahagiaan yang hakiki. Khatimahku hanya menginginkan satu hal, yang bahkan anak-anak lain bisa melakukannya tiap hari. Tanpa harus menunggu surga.
Khatimahku hanya ingin satu hal. Melihat wajah ibunya.
Bening putih itu mengalir di pipiku, menetes membasahi rambut Khatimah.
"Tentu saja sayang, tentu saja Khatimah bisa melihat Ummi di sana, bukan hanya Ummi, tapi juga para bidadari dan hamba-hamba yang sama bertakwa. Wajah-wajah mereka berseri dan bercahaya di dalam surga."
"Katakan Ummi, beri tahu Khatimah cara agar aku bisa masuk surga," pinta Khatimah penuh antusias.
Aku tersenyum, mengusap tetes air mataku, "Tetaplah berbuat baik pada siapa pun sayang. Jangan pernah berbohong, jaga shalat lima waktunya, perbanyak membaca Al-quran," jawabku tersenggal. Masih penuh dengan keharuan.
"Tapi Ummi, Khatimah tidak bisa membaca Al-quran, jangankan membaca, melihat Al-quran saja Khatimah tidak bisa."
"Tidak sayang, tidak. Al-quran tidak dibaca dengan mata, tapi menggunakan ini," Aku menunjuk hati Khatimah, "jadi bisa melihat atau tidak, siapa pun dapat membacanya. Apalagi seorang dengan hati yang bersih sepertimu. Insya Allah, Khatimah bisa dengan mudah membaca Al-Quran."
.
Sejak saat itu Khatimah semangat sekali belajar Al-quran. Aku meminta seorang ustadzah untuk mengajarkannya cara membaca yang sesuai mahraj dan tajwid. Pelan tapi pasti, Khatimahku mulai bisa membaca Al-Quran. Cukup banyak persyaratan bagi gadis kecilku untuk sampai di tahap ini. Ia harus belajar membaca huruf braille terlebih dahulu dan diiringi banyak mendengarkan murottal, agar telinganya terbiasa mendengar bacaan.
"Ummi," ujar gadis kecilku, "Apa boleh, Khatimah ikut pengajian di pesantren dan ikut menghapal Al-quran bersama teman-teman di sana?" pinta Khatimah padaku.
"Kemarin Ustadzah Habibah bilang pada Khatimah, 'Esok lusa, kelak di surga, akan ada surga yang khusus diperuntukkan bagi mereka yang menghafal Al-quran. Di sana para ahli Quran berkumpul jadi satu dan memberikan sebuah mahkota yang sangat indah kepada kedua orangtua'."
Aku memeluk Khatimahku. Kudekap tubuhnya erat, terisak, bahagia, haru, perasaan itu campur aduk di dada. Orangtua mana yang tidak bahagia, ketika anaknya mencoba untuk menyediakan sebuah tempat untuk mereka di surga?
"Apa boleh Khatimah ikut mengahafal, Ummi?
"Tentu saja, Sayang. Tentu saja kamu boleh menghafal Al-Quran. Nanti Ummi antar ke pesantren Ustadzah Habibah," jawabku masih dengan isak-haru.
Setiap hari aku mengantar Khatimah ke pesantren. Gadis kecilku paling aktif dan paling semangat di sana. Selain belajar, menghafal dan mengaji, ia juga mulai mendapat teman-teman baru.
Waktu cepat sekali berlalu, di antara ikhtiar Khatimah dalam menghafal, tak jarang di sepertiga malam Khatimah membangunkanku untuk shalat malam dan muroja'ah. Dia semangat sekali, tak pernah luntur semangat itu walau sudah hampir berbulan-bulan. Jangankan kendor, Khatimah kian hari kian semangat saja menghafal. Ya sih, walau terkadang ia menangis karena ada bagian dari ayat Al-Quran yang cukup sulit untuk Khatimah hafal.
Semua berjalan penuh haru dan bahagia, hingga suatu malam aku terbangun oleh Khatimah yang tiba-tiba saja dia memeluk erat mendekapku,
"Kamu kenapa, Sayang? Tak ada-apa, semua baik-baik saja. Kamu tak perlu khawatir." Aku mencoba menghibur, ada setetes yang mengalir di pipi Khatimah.
Kueratkan lagi dekapanku, "Tak ada apa-apa, Nak. Ummi di sini, kamu ndak perlu takut."
Gadis kecilku itu tak kalah erat mendekapku, "Kha-Khatimah tadi bi-bisa melihat Ummi. Ta-tapi," ungkapnya tersenggal, "se-setelah Khatimah membuka mata, se-semua jadi gelap lagi, Ummi."
Khatimah melihatku? Dalam tidurnya? Apa mungkin? Ya, itu mungkin saja.
"Itu sebuah mimpi sayang," jawabku, lalu melepas dekapan dan menatap lembut wajah Khatimah.
"Katakan pada Ummi, apa saja yang kamu lihat beberapa saat tadi?"
"Khatimah melihat wajah Khatimah sendiri di dalam sungai yang amat jernih sekali airnya. Arusnya mengalir lembut menuju hilir, sedang aromanya wangi sekali. Khatimah yakin sekali, kalau harum-semerbaknya tetap bisa tercium walau dari kejauhan. Sementara Khatimah asik melihat wajah Khatimah di air, di belakang Khatimah ada wanita yang wajahnya sama cantiknya seperti Khatimah. Wanita itu memelukku, dan mengatakan kalau dia adalah Ummi. Apa itu memang, Ummi? Apa Ummi punya titik aneh di atas bibir?"
Titik aneh di atas bibir? Ah, mungkin yang Khatimah maksud tahi lalatku.
"Iya, Sayang. Itu Ummi. Titik aneh itu namanya tahi lalat," Aku tersenyum, "lalu apa lagi yang Khatimah lihat?"
"Khatimah melihat ada banyak sekali warna di sana, Ummi. Bukan hanya gelap. Aku tak tahu warna apa saja itu, tapi yang jelas semua warna-warna itu berjajar indah di atas langit. Khatimah tak tahu apa itu Ummi, tapi itu amat indah. Sesekali susunan warnanya berganti, lalu berkerlap-kerlip, berkilauan. Warna-warna itu kembali melengkung indah."
Subhanallah.
"Itu pelangi, Sayang. Namanya pelangi. Warnanya ada banyak sekali, dan tempatnya memang di langit."
Aku kembali meneteskan air mata. Hampir tak percaya dengan mimpi yang dialami Khatimah. Saat orang lain telah melihat banyak hal di dunia, melihat hitam-putih warna kehidupan, telah banyak sekali melihat mimpi-mimpi dalam tidur mereka.
Gadis kecilku itu, untuk pertama kalinya. Melihat sebuah pelangi ... di surga.