Aku tak menyendok nasi atau segala makanan yang ada di meja. Hanya menemani Mas Hikam makan dan memandanginya sambil menyanggah kepala.
Dia menatapku, mengerutkan dahi, curiga, "Kok nggak makan? Kamu puasa?"
Aku menggeleng.
"Lalu kenapa kok nggak makan?"
Aku diam tak menjawab. Kemarin sepulang dari pasar kusempatkan mampir ke Puskesmas, bukan untuk periksa kesehatan, tapi untuk mengecek berat badan. Dan hampir setengah hidup aku dibuat kaget timbangannya.
Beratku enam puluh kilo!
Oh, no! Sejak kapan aku jadi seberat ini? Apa gara-gara mandi kelamaan jadi badanku mengembang? Tidak-tidak!
Mas Hikam terus menatapku curiga, "Ya sudah kalau gitu, Mas hari ini rencananya mau mancing sama temen-temen kantor. Mumpung hari minggu, libur. Kamu mau ikutan, Iryah?"
"Ma-"
Tunggu sebentar Iryah, tunggu sebentar! Hampir saja aku bilang 'mau'. Mana mungkin aku ikut dengan badan selebar ini? Yang ada malah nyusahin Mas Hikam atau kalau tidak, malah buat dia malu sama teman-temannya.
"Mas pergi saja sendiri. Aku jagain Allara, dia hari ini masuk PAUD."
Mendengar jawabanku Mas Hikam mengangguk, seperti menjawab ya sudah kalo gitu. Dan berlalu mempersiapkan alat pancing miliknya.
Aku masih ingat betul kenangan lima belas tahun lalu. Saat badanku masih kecil, masih terlihat ramping lincah bergerak kemana saja. Dan yang terpenting, Mas Hikam masih kuat membopongku kala itu.
Duh Gusti, kenapa daku jadi seberat ini?
Di PAUD. Saat Allara bermain dan bernyanyi dibimbing gurunya, aku dan ibu-ibu lain asyik mengobrol. Membahas itu-ini, hingga ke topik yang kutunggu-tunggu.
"Eh, Mbak Ning kok kayak keliatan lebih kurusan ya, Bund?" kata Bu Imah mencolek pundak Bu Ning.
"Iya lho Bund, tambah singset aja." Bu Widya menimpali.
Aku hanya mengangguk, ikut setuju.
"Iya nih, Bund. Jadi kemaren-kemaren itu Bapaknya anak-anak ngeluh, katanya aku tambah gemuk aja. Terus aku niatin deh buat ikut progam diet, itu lho Bund, progam diet yang ada grupnya di efbe." Bu Ning menjelaskan.
Kami di sana mengangguk, aku juga masuk grup itu semalam.
"Itu bagus Bund. Kita harus jaga pola makan kita, kudu jaga juga berat badan kita, biar Paksu ndak ngelirik wanita lain. Apalagi sekarang kan lagi tren ama yang namanya Pelakor."
"Heem."
"Heem."
Ibu-ibu pada setuju, aku ikut mengiyakan juga. Entah kenapa akhir-akhir ini Pelakor merajalela.
"Iya Bund, apa Pelakor jadi profesi yang membanggakan bagi mereka?"
Pembicaraan berlanjut, membahas topik lain. Beginilah ibu-ibu kalau sudah ngumpul. Apa pun dibahas. Mulai dari berat badan, pelakor, anak sakit, harga sembako naik. Semuanya. Rapat paripurna mah kalah jauh!
Aku masih terpikir dengan berat badan. Jadi teringat dengan Mas Hikam. Di sana bukan teman-teman Mas Hikam saja yang mancing. Istri dari teman-temannya juga pasti ada yang ikut.
Apa dia bakalan bandingin sama istri teman-temannya?
***
Lima belas tahun lalu, di malam kedua setelah pernikahanku dengan Mas Hikam - malam pertama setelah pernikahan masih ramai dengan sanak-saudara. Dan setelah Mbak Tri pergi dengan membawa lauk sisa kemarin. Akhirnya aku dan Mas Hikam punya waktu khusus berdua.
Entah kenapa wanita itu seakan tidak suka dengan pernikahan kami?
"Dek?" panggil Mas Hikam padaku.
Aku hanya diam bersemu merah. Menatap gelas selai di atas meja.
Ruangan hening sebentar. Mas Hikam mengambil gelas selai itu, lalu mencolek isinya dengan telunjuk. Cepat ia mengoles selai di jarinya di ujung hidungku.
"Wheek!" ejek Mas Hikam lalu berlari. Aku yang dibuat kesal langsung balas mengejar. Tubuhnya gesit menghindar. Memutari meja makan, lalu pergi ke ruang tamu.
"Maaas, awas ya!" Aku terus mengejarnya, menyingsingkan rok ke atas tak mau kalah gesit dengan Mas Hikam. Tiap tanganku hampir meraih bajunya, dia berkelit. Menghindar. Dan pada akhirnya kami terjatuh. Aku jatuh di atas Mas Hikam. Wajahku dan wajah Mas Hikam saling bertatapan, hanya berjarak dua senti saja ujung hidung kami.
Kami cukup lama di posisi itu. Saling diam dan malu-malu.
Saat aku ingin bangkit, Mas Hikam malah menahan punggungku.
Aku diam. Lalu pasrah, hingga Mas Hikam membopongku masuk ke dalam kamar.
***
Itu kenangan saat aku masih bisa lincah bergerak. Mas Hikam juga masih kuat membopongku. Awalnya aku tak selebar ini, tidak se-gemuk ini. Ya meski sudak semok sih, memang. Tapi setelah Allara lahir, berat badanku kian hari kian naik. Aku jadi sulit bergerak, dan terasa berat saja untuk beraktivitas.
Sesuai dengan saran dari grup diet di efbe, siang itu aku hanya makan sedikit karbo. Memperbanyak sayuran. Dan malamnya hanya makan sebutir telur.
Mas Hikam kembali mengerutkan dahi. Menatapku penuh curiga.
"Dek, kamu makan telur doang?"
Aku mengangguk.
"Apa kamu udah kenyang cuman makan telur?"
"Tadi udah makan kok, Mas. Jadi masih kenyang," elakku. Hingga akhirnya perutku tak mau selaras dengan yang kukatakan. Cacing-cacing di perut menabuh gong di dalam sana, sehingga perutku berbunyi. Cukup nyaring.
"Tuh, perut kamu bunyi. Makan gih. Apa mau aku suapin?"
Aku menggeleng, "Aku lagi progam diet, Mas."
"Diet?"
"Huum."
"Kenapa kamu pengen diet?"
"Aku takut Mas nggak sayang aku lagi karena gemuk. Lalu ngelirik wanita lain. Kan kata ibu-ibu komplek sekarang lagi jamannya Pelakor."
Mas Hikam menaikkan ujung bibirnya, tersenyum aneh, "Hesyeh!"
Dia berdiri lalu menghampiriku.
"Iryah. Dengerin nih, ya? Aku tuh nikahin kamu bukan karena kamu langsing, bukan karena tubuhmu. Tapi aku nikahin kamu itu buat keluarga kita, agar nanti bisa sama-sama ke Jannah-Nya. Kamu wanita terbaik yang kudapat untuk itu. Lagi pula, setelah banyak rintangan yang kita lewati, masa gara-gara kamu gemuk saja, aku pergi dan milih wanita lain."
"Jadi?"
"Jadi, aku masih tetap mencintaimu ... walau gemuk."
"Makasih ya, Mas?"
Mas Hikam mengangguk, "Lagi pula aku seneng kamu gemuk. Gemuk artinya kamu tuh bahagia bersamaku. Dan yang terpenting ...."
Ganti aku yang mengerutkan dahi, heum?
"Nggak bakalan kentara, kalo nanti nggak tak kasih uang bulanan. Wheek!"
══════════════════
- Dandelion