Aku masih ingat ketika jam dinding teriak, "Tolol, tolol! Tinggal dua menit lagi sebelum aku injak tengah malam!" Tapi, nyawamu, seperti yang kulihat, masih di bumantara sana, layangkan diri di tengah-tengah kehampaan yang sunyi soalnya udara tiada untuk bergetar. Kamu diam seperti batu, tapi terus tenang seperti itu. Tenang meski tahu kalau rambutmu terus rontok.
Kamu bisu dalam kediaman dedalu, cuma bisa lirik sana-sini yaitu matamu. Obsidianmu yang adalah batu, dan bibirmu yang dilapisi gincu. Barangkali aku berpikir kamu harus benar-benar melihat wajahmu sendiri lewat cermin yang pecah-pecah itu. Soalnya, sebabnya, kamu benar-benar ayu. Benar-benar sampai-sampai aku rasanya mau mati untuk tidak menarikmu kembali injakkan kakimu pada bumi yang .... Astaga.
Gugup aku ketika kamu lihat aku. Tanganku malah jadi gatal ingin sentuh kamu. Tapi aku terlalu kotor untuk cium labiummu. Jadi itu cuma bisa jadi angan-angan yang sifatnya semu sesemu-semunya.
"Astaga, Taehyung." Bibirmu yang buat aku haru itu panggil namaku, lalu komat-kamit ceritakan tentang rasa hatimu yang baru saja dimakan laki-laki lain. "Dia manis, Taehyung," katamu, "sampai-sampai aku tak tahu lagi harus bagaimana kalau saja dia ajak aku pergi dari rumah. Kamu tahu sendiri, kan, aku memang dari dulu ingin kabur dari ibu-ayah."
Aku cuma mengangguk. Barangkali kamu bisa lihat mataku yang sendu malam itu, tetapi kamu tak bisa sebab mata sudah buta akan jingga. Jadi aku jawab iya. Iya, iya, iya terus sampai kamu bangun dan temui laki-laki itu. Dan aku sendiri, sendiri mungkin sampai mati nanti.
Tetapi sebenarnya tidak sepenuhnya begitu. Soalnya, setiap malam, kamu selalu lekas kunjungi aku dalam galaksi yang diasingkan. Setiap malam, kamu lari-lari buat cari aku di antara bintang-bintang serta bubuk kosmos, dan mungkin juga lontaran meteorid.
Namun, benarkah? Bahwa kamu akan pergi? Lari? Hilang?
Sebab, sudah tak lagi kudapati kamu cari-cari aku, sambil katakan "Taehyung, Taehyung" dan aku rasa kamu benar-benar sudah tiada di genggamanku. Kamu berjibaku. Dan aku terlalu takut untuk katakan itu padamu kemarin, soalnya aku takut kamu hilang dari sisi nan kuyu. Tapi benar bahwa kamu hilang.
Dari aku.
Dari kamu.
Dari tuan. Dari gelar puan.
...
Taehyung terlalu takut untuk melihat dunia nan begitu lebar. Soalnya, cuma ada kamu di kepalanya yang sekecil ular. Cuma ada kamu di otaknya yang selabirin matematika. Tetapi terjebak dalam rindu tidaklah sesulit itu, eh?
Taehyung cuma pemuda kecil. Yang ringkih. Dalam tempat sesempit lemari. Gelap. Kurus. Begitu kurus. Tidak lembap. Justru kering. Dan tak ada udara. Pengap. Seperti hati.
"Apa benar?" Kamu menangis ketika bapak bertopi aneh mengetuk pintu rumahmu yang lama tertinggal. Sedang bapak itu cuma mengangguk pasrah, soalnya ternyata memang nyatanya terlalu pahit untuk dicerna.
"Maafkan kami, Nona. Tapi Tuan benar-benar sudah tiada. Ia mati dalam lemari kamarnya. Saya turut berduka cita."
Ketika bapak bertopi aneh itu keluar dari pekarangan rumahmu, tak ada satu suara pun yang muncul di rumah itu kecuali jam dinding yang terus berdenting hingga buat kepala pening. Tapi, kepala sudah tak bisa rasakan apa-apa. Yang ada cuma kosong dan bicara, "Aku kehilangan dia."
Benar, bukan kamu yang menghilang soal jingga. Namun, Taehyung.
Esoknya, Taehyung datang padamu tanpa raga, katanya, "Aku lirik matamu, dan dapati air matamu rontok mirip abu, sampai ubun-ubun teriak katakan hentikan penjajahan jiwa ini oleh jingga. Lalu rambutmu habis. Tapi entah kenapa kamu tetap ayu."
Air matamu memang rontok, tetes-tetes sampai kering. Rambutmu memang menetes sampai nyaris habis. Dan hatimu terlalu kuat untuk bertahan dalam kehampaan. Kamu menua dalam rindu. Rindu pada ... tuan?
○
●○
●Note : ini dia pemanasannya XD
Setelah sekian lama ga nulis (nulis, sih, tapi ga kerasa) akhirnya aku comeback LOL. Aku ga tau juga sih :") yang ini asal nulis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Air Matamu Rontok
أدب الهواةAku lirik matamu, dan dapati air matamu rontok mirip abu, sampai ubun-ubun teriak katakan hentikan penjajahan jiwa ini. Lalu rambutmu habis.