Bagiku, diam adalah keputusan bodoh dalam hidup.
Kafe yang berdekorasi kekinian menemaniku di sudut kursi. Aku menyeruput secangkir kopi berlahan-lahan. Tak hentinya mataku mengitari setiap jengkal tempat penuh kenangan ini. Di sini aku sering termenung menunggu sosok cowok yang sibuk oleh pekerjaannya. Kadang, senyumku merekah memandangnya yang berinteraksi dengan karyawannya. Mataku mengerling secara diam-diam. Saat mata kami berserobok, aku berpura-pura memalingkan wajah ke laptop yang berada di depanku. Kebiasaan itu terjadi berulang-ulang. Namun, entah sampai detik kapan aku akan merasa bosan.
"Ris, sibuk amat." ejek cowok itu seraya menempelkan pantat di kursi seberang.
"Ya nih. Biar cepat sidang skripsi." pandanganku masih terpusat pada laptop.
"Wisuda tahun ini dong? Tenang, Ris. Aku bakal datang ke sidang dan wisudamu bawa buket cokelat kesukaanmu. Jadi semangat berjuang, ya!" senyumnya menenangkanku.
"Siap, Kak Rule! Aku akan menantikannya." tanganku membuat pose hormat.
Dia tertawa geli melihat tingkahku.
Lesung pipinya terlihat dalam. Rule tampak mempesona memperlihatkan cekungan di pipi seraya menampilkan gigi yang berderet rapi. Kapan aku berhenti terpana oleh semua yang dimiliknya? Perangainya, perhatiannya, senyumnya, dan kebaikannya.
Tidak seharusnya perasaan ini tumbuh waktu itu. Takdir pertemuan di organisasi pers mahasiswa kampus menggoyahkan hatiku yang tidak pernah menyukai siapapun selama ini. Dia seorang aktivis hebat sebagai panutanku. Hingga, di sebuah skenario Tuhan yang mengharuskannya untuk menjadi pembimbing kelompokku saat magang di organisasi. Saat itulah, aku menyadari bahwa perasaan cinta itu seperti ini. Mendebarkan dan mengalihkan fokusku hanya pada satu titik. Yah, orang yang disukai.
Namun, saat rasa suka juga bersanding dengan rasa patah hati. Aku mengerti dan menyerah. Rule yang memiliki wanita cantik di sampingnya menghilangkan harapanku. Tidak seharusnya aku menautkan hati pada kekasih orang. Apalagi, aku hanyalah serpihan kasat mata baginya. Dengan begitu, aku akan menyembunyikan perasaan yang bergejolak di hatiku. Entah sampai kapan aku bisa menghapusnya?
Skenario takdir menghasilkan cerita lain dalam hidupku. Aku mulai akrab dengannya tanpa niat terselebung dalam benakku. Jalani pertemanan untuk menambah ruang lingkup, mungkin itu yang terpikir dalam otakku. Pertemuan itu akhirnya menjalin ikatan persahabatan antara kami yang memasuki 3 tahun lamanya.
Kini, dia sudah menjadi sosok pria dewasa yang bertanggungjawab. Rule sibuk menggeluti karir yang sedang dirintisnya. Kafe coffe yang aku pijak ini salah satu saksi kesuksesannya. Sedangkan aku di sini, sibuk pada dunia skripsi yang melelahkan otak dan batinku.
"Ris, datang ke rumahku tanggal 23 April pukul 8 pagi, ya?" ajaknya padaku.
"Acara pernikahan, ya, Kak?" tanyaku sangsi. Aku menahan rasa sakit di dada yang menyesakkan.
"Wah! Kok kamu tahu sih, Ris?"
"Aku mendengar desas-desus berita itu dari karyawan yang menggosip dengan keras." jelasku sambil tersenyum bahagia. Benar. Senyum itu palsu.
Aku tahu. Suatu saat di mana dia akan mengatakan hal itu. Pernikahannya? Dia selalu mengumbar keinginan nikah muda di hadapanku. Inilah waktu aku mendengarnya secara langsung. Perasaanku agaknya tak bisa aku bendung lagi. Sebentar lagi air mata mulai meluncur deras dari pelupukku. Sontak aku memasukan laptop, buku referensi, dan ponsel ke dalam tas ranselku. Aku beranjak dari kursi secara mendadak.
"Kak, aku lupa ada janji sama ibu. Aku pergi dulu, ya? Oh! Masalah pernikahan jangan khawatir. Aku pasti datang tepat waktu." kilahku untuk menghindarinya. Dia menilik wajahku yang sedikit muram. Tapi secara cepat aku menutupi oleh senyum. Lama-lama aku semakin ahli bersandiwara. Dia membiarkanku pergi.
Perasaan apa yang berkecamuk sekarang? Sungguh. Ini tak bisa dijelaskan oleh kata apapun.
§—§
Undangan pernikahan itu masih terbungkus plastik di atas meja ruang tamu. Rapi dan tidak terjamah sama sekali. Tidak ada sidik jariku di kertas itu. Bagaimana tidak? Memandangnya dari jarak 1 meter saja membuatku berkaca-kaca. Rasanya aku ingin membakar kertas yang tertulis nama Rule beserta calon istrinya. Benar. Kata orang benar. Patah hati itu rasanya seperti tersayat-sayat.
Hari ini. Akad yang dilakukannya akan menamparku, bahwa aku harus benar-benar melupakanya. Aku menatap nanar kaca rias di hadapanku. Dia memantulkan bayanganku yang menggunakan dress brokat pastel selutut. Rambutku dibentuk sanggul kepang yang sangat kuat. Wajahku dibubuhi make up natural. Namun aku masih bergeming tanpa suara. Apa aku sanggup menghadiri pernikahannya?
Sampai ketukan pintu rumah membuyarkan lamunanku.
Engsel pintu aku buka berlahan. Aku terperangah mendapati sosok yang berada di baliknya. Cowok itu Rule. Dia menggunakan jas biru dongker dan rambutnya klimis bercahaya. Alisku bertaut karena tak bisa membaca keadaan ini.
"Kenapa kamu di sini, Kak?"
Dia tersenyum. "Ngapain lagi, Ris? Jemput kamulah." sahutnya.
"Tapi kan kamu harusnya sibuk jadi mempelai pria?"
Rule terkekeh mendengar ucapanku. "Jangan bercanda, Ris. Yang nikah kan kakakku. Katanya kamu udah dengar gosip dari karyawanku. Aku juga udah kasih undangan, lho."
"Mereka membicarakan pernikahan kamu kok. Dan undangan itu, aku belum sempat membacanya." dalihku.
Aku keluar dari ambang pintu. Kami berdua berdiri di pekarangan rumah.
"Oh gitu... gosipnya salah tuh. Ya udah ayo kita berangkat. Bentar lagi acaranya mulai nih." Dia mempersilahkanku berjalan mendahuluinya. Senyumku sedikit mengembang. Untuk saat ini, aku benar-benar bersyukur. Aku berharap masih memiliki kesempatan.
"Kenapa yang dijemput aku, Kak? Seharusnya pacar kakak yang cantik itu, bukan?" tanyaku bimbang.
"Aku udah putus lama kali, Ris." jawabnya singkat. "Alasan jemput kamu, ya? Nggak ada alasan lain selain mau ngenalin kamu sama orang tua aku dong, Ris."
Mataku mengerjap berkali-kali dan mengorek-ngorek telinga. Apa aku tak salah dengar?
![](https://img.wattpad.com/cover/198309698-288-k596284.jpg)
YOU ARE READING
Kumpulan Cerita
Short StoryCerita yang mendeskripsikan sebuah cinta hingga merangkai alur dalam bingkai para tokoh yang memiliki karakter tersendiri