Dunia yang keras

23 7 2
                                    

"Tok!, Tok!, Tok!, Angga Bangun! sudah jam lima ini! Cepat bangun!" Suara ibu dengan nada tinggi.

"Duh... Apaansih ibu nih? Ini kan masih jam lima tau, masuk sekolah itu jam tujuh bu." Kataku dengan setengah sadar

"Ya Allah... Kamu itu kebiasaan ya, Angga! Kamu pikir hidup cuma buat sekolah? Cepat mandi, setelah itu langsung shalat subuh!" Nada ibu yang semakin tinggi membuatku langsung terbangun.

"Huh... Iya bu iya..." Aku hanya pasrah dan bergegas untuk mandi.

     Setengah jam ku lewati hanya untuk mandi dan shalat. Terlihat ibu sedang memasak sesuatu di dapur rumah yang sempit itu. Aku duduk di sebelah ibu untuk menunggu sarapan.
"Gimana? Segeran kan abis mandi sama shalat? Wong Disuruh biar enak dilihat sama orang aja kok, susah kamu nih..." Ibu berkata sambil menyiapkan makanan untukku.

"Iya bu, segeran kok. Tapi walau kita terlihat segar, tetap tidak akan dipandang sama orang lain bu." Aku menjawab dengan nada sedikit kesal.

"Yo wis, nih bekal kamu buat sekolah, ini makanan buat sarapan sekarang"

"Memangnya ibu tidak makan?" Kataku merasa kasian.

"Ibu sudah kenyang kok, lagi juga ibu kalo lagi cari uang gak akan pernah kelaperan, malah ibu makannya yang enak-enak." Kata ibuku untuk meyakinkanku.

"Tapi kenapa ibu setiap pulang ke rumah gak pernah bawa makanan?" Aku bertanya sangat penasaran.

"Ya gabisa lah... Itu makanan siap saji semua, jadi gampang basi. Ibu takut kamu keracunan nanti."

"Ah ibu bisa aja. Uang bu?" Aku bertanya dengan pelan.

"Haduh... Kamu itu loh... Orang gak pernah bersyukur. Cari uang itu susah nak..." Ibu menjawab dengan nada sedih.

"Eh gajadi bu, aku bersyukur kok udah di buatin makanan sama ibu tercinta. Terus masih ada ibu yang bisa jagain aku, aku bersyukur banget..." Aku berusaha menghibur ibu supaya tidak sedih.

"Ya udah, ibu bersyukur juga kok masih ada kamu. Ayo buruan bantu ibu siap-siap cari uang, nanti kalo udah siang, uangnya udah susah di cari." Nada ibu yang semangat membuat hatiku ikut tersemangatkan juga.

"Siap bu..." Aku membantunya untuk bersiap-siap mencari uang dengan semangat.
-----------------------------------------------------------

     Rumah ini sangat sepi. Ibu telah keluar membawa alat pengungkit dengan ujung yang tajam dan digendongnya karung kosong berwarna putih. Aku tinggal di tempat yang kotor dan kumuh, rumahku hanya terbuat dari triplek yang sudah lapuk. Saat ini umurku hanya 9 tahun. Sebenarnya aku paham, ibu itu hanya makan bekas sisaan orang lain yang sudah di buang. Tapi apa boleh buat, aku pura-pura tidak tahu saja agar ibu tidak sakit hati.

Nama kota ku sangat besar, JAKARTA. Ya, kota yang di penuhi dari berbagai daerah di Indonesia. Yang menjadikan kota tersebut memiliki banyak budaya, ras, suku, dan juga sifat manusia yang beragam. Bagi kami yang hidup berekonomian sulit ini menjadi di tindas. Bahkan tidak ada yang mau mendengar suara kami, mungkin. Huh, kehidupan yang sulit membuatku muak.

"Huah... Lebih baik aku berangkat sekolah saja lah."


Kunci di Balik DuniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang