Wake Up in the Real Life

203 35 1
                                    

-Preview-
Aku tak sanggup jika mengingat yang tadi lagi.

Pernikahan yang membahagiakan bagimu itu sejatinya adalah siksaan paling menyakitkan bagi diriku.

Kau bukan lagi wanita yang bisa kunantikan kedatangannya.

Kau bukan lagi wanita yang bisa kumiliki karena sekarang kau mutlak menjadi miliknya.

Aku ingin saat ini berlalu dengan cepat.

Aku ingin bahwa besok tidak usah datang saja karena aku tak akan pernah bisa melihatmu selalu bersamanya.

Kusambar laci nakas disamping tempat tidurku lalu kuambil sebuah botol kecil berisi puluhan kapsul dari sana.

Aku menelan kapsul itu satu demi satu hingga tak ada lagi kapsul tersisa di dalam botol itu.

Semenit berlalu dan aku masih belum bereaksi apapun.

Saat menit berganti kurasakan kerongkonganku terbakar, jantungku memompa dengan cepat, perutku rasanya melilit, darah mulai menyembur dari hidungku, mulutku juga mengeluarkan busa.

Pikiranku melayang mengingatmu.

Mengingat pertemuan pertama kita, menjalani hari-hari bersama, dan perpisahan kita.

Tubuhku kini telah terkapar di lantai dan pandanganku telah memutih semuanya.

Dan hanya suatu wajah yang terbayang bersama hembusan napas terakhirku.

Wajahmu.

Jika saat ini berlalu dan aku melupakan semuan kenangan, kebahagian, juga penyesalan.
Tidak semuanya kulupakan, karena kau tidak akan pernah kulupakan.

Karena saat aku terbangun lagi di kehidupan selanjutnya, Aku ingin bertemu denganmu dan mencintaimu lagi.

Seperti yang pernah kulakukan sebelumnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hanbin membuka matanya dan mendapati sebuah cahaya benderang menyilaukan matanya.

Tangannya terangkat guna menlindungi matanya dari silau itu, tanpa sadar mengusik sesuatu yang memberati lengannya.

"Eunghh" Pria itu melenguh sambil menggeliatkan tubuhnya yang terasa amat sakit seperti berdiam dalam satu posisi untuk waktu yang lama.

"Bin! Kau bisa mendengarku?" sebuah suara bernada senang menyapa pendengarannya, suara yang amat dikenalnya, suara yang hanya dimiliki seorang..

"Jinan" Hanbin berujar sedikit parau.

"Kau benar-benar siuman, aku panggil dokter dulu" kata Jinhwan sambil beranjak dari duduknya namun Hanbin menahan pergelangan tangannya mengisyaratkan gadis itu untuk tetap disisinya.

"Jangan pergi Jinan-ah, jangan pergi" racaunya dan Jinhwan mau tak mau kembali mendudukan diri di samping ranjang rawat Hanbin.

"Jangan pergi Jinan, jangan menikah dengan Jiwon" Hanbin berujar lagi kali ini dengan air mata yang menganak sungai di wajahnya.

Jinhwan mengiba melihatnya "Sudah kubilang aku dan Jiwon tidak punya hubungan apapun, mana mungkin menikah dengannya".

"Tapi aku melihatmu menikah dengannya aku-" perkataan Hanbin terhenti saat Jinhwan meletakan telunjuknya di depan bibir plum Hanbin.

"Apa kepalamu masih sakit?" tanya Jinhwan sambil menyentuh pelipis Hanbin yang berbalut perban "Dokter bilang kepalamu terbentur cukup keras, lukanya juga cukup dalam, kau kehilangan banyak darah karena kecelakaan itu".

"Kecelakaan apa?" heran Hanbin seingatnya dia tidak pernah mengalami kecelakaan, karena hal terakhir yang diingatnya adalah kekecewaannya karena pernikahan Jinhwan dan Jiwon lalu dirinya yang terkapar di kamar penthousenya karena overdosis.

Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang