1. Hari pertama

72 14 31
                                    

    Hari senin, hari di mana Sila mulai bersekolah di sekolah barunya, di SMA Merpati putih, Jakarta. Sejak beberapa hari lalu, keluarganya baru saja berpindah dan berencana untuk menetap di kota Jakarta. Sila sempat menolak untuk mengikuti kepindahan kedua orang tuanya. Namun, karena satu alasan yang membuat Sila mau tidak mau harus menuruti keinginan kedua orang tuanya untuk pindah, dan harus meninggalkan sekolah lamanya.

Asila, sering di panggil Sila, cewek berambut panjang dan berwarna hitam pekat. Cewek itu tengah memakan sebuah roti yang di berikan oleh Rita---- Mamanya. Sila terus melahapnya dengan cepat, sampai-sampai membuat kedua pipinya mengembung. Rita yang melihat anak kesayangannya pun, hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum simpul.

"Sila, makan nya pelan-pelan. Nanti bisa ke selek, lho," ucap Rita memperingati. Sila menoleh ke arah Mamanya, dan menyantap kembali sisa roti yang ada di tangannya.

"Sila ngga mau telat, Ma. Ini, kan, hari pertama Sila di sekolah baru. Masa hari pertama udah di hukum, kan malu, Ma," jawab Sila di sela-sela makannya.

"Kan ada Papa, yang siap nganterin kamu," timpal William----Papa Sila, yang kini menyuapkan sepotong roti ke mulutnya.

"Iya, Sila. Kamu tenang aja, kan ada Papa. Kamu tahu sendiri, kan, Papa kamu itu jago nyetirnya," sela Rita.

"Betul tuh kata Mama kamu," sahut Wiliam sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

Sila menatap ke arah Wiliam, benar juga apa yang di katakan Mama dan Papanya itu, Sila tak perlu merasa khawatir, karna ia mempunyai seorang Papa yang bisa di andalkan, pikirnya.

"Oke, deh."

Sila terus menghabiskan roti yang ada di tangannya, sampai di gigitan terakhirnya. Setelah menghabiskan rotinya, Sila langsung menyambar segelas susu putih yang berada di dekatnya dan meneguk susu itu dengan sekali tegukkan.

Sila memiliki postur tubuh yang mungil di antara remaja-remaja lainnya, di mulai dengan rambut, wajah, tangan, kaki, semuanya sangat sempurna. Selain mempunyai paras cantik, Sila juga mempunyai sebuah julukan untuknya. Seperti, 'Badan kecil, tapi porsi makan banyak'. Tak heran jika saat ini, ia sangat menikmati sarapan paginya.

"Akhirnyaa kenyang juga. Sila siap-siap dulu." Sila bangkit dari duduknya, dan berjalan menuju kamarnya.

Setelah beberapa menit berlalu, Sila kembali dengan gaya rambut yang berbeda, cewek itu mengepang satu rambutnya, dan di tambah sebuah kacamata kebesaran bertengger di wajahnya.

"Pa, ayo! Sila udah siap nih!" Seru Sila sambil menatap ke arah William.

Rita dan Wiliam pun menatap ke arahnya dengan tatapan aneh sekaligus tak percaya dengan apa yang di lakukan Sila.

"Kamu kok pake kacamata?" Tanya William ketika melihat Sila yang sudah ada di hadapannya.

"Itu, rambut kamu, kok di kepang gitu? Padahal bagusan di gerai, lho, Sil," tambah Rita.

Sila tersenyum menampilkan giginya yang rapih, sambil menatap ke arah kedua orang tuanya yang kini menatap dengan tatapan heran.

"Sila sengaja begini, kok, Pa, Ma. Sila mau ngerasain gimana rasanya jadi orang biasa. Sila cape, liat cowok-cowok pada buntutin Sila terus, Sila risi. Apalagi cewek-cewek, mereka terus natap Sila dengan sorot kebencian. Karna menurut mereka, gara-gara muka Sila yang sok cantik, yang udah ngundang pacar mereka suka sama Sila, dan putusin mereka demi Sila. Padahalkan Sila emang ngga salah," jelas Sila panjang lebar. Memang benar apa yang di katakan Sila, di sekolah lamanya, Sila di kenal dengan Ratunya SMA Panca, dengan parasnya yang begitu cantik. Sehingga membuat para kaum Adam mau pun kaum Hawa menatapnya dengan tatapan memuja sekaligus iri.

Rita berdiri dari duduknya dan mendekat ke arah Sila, Rita mengusap rambut Sila lembut. "Tapi, apa kamu ngga bakal di bully, nantinya?"

"Ngga akan. Mama tenang aja," jawab Sila dengan santainya.

"Tapi kalo kamu emang di bully? Gimana tuh?" timpal Wiliam.

"Sila akan terima dan tetep diam."

"Kalo di bully fisik?"

"Kalo itu, Sila ngga akan tinggal diam. Sila bakal balas mereka dengan cara Sila sendiri."

"Kalo nanti kamu ga punya temen, gimana?"

"Ngga papa. Sila juga ngga butuh teman yang munafik, yang cuma baik di depan, tapi ngomongin Sila di belakang."

Sila menjawab semua peetanyaan kedua orang tuanya begitu mantap, karna ia benar-benar tidak ingin semua kenangan yang lalu terulang kembali.

"Mama, Sila berangkat ya," pamit Sila sambil mencium tangan Rita. "Papa, ayo! Nanti Sila terlambat."

Wiliam sesgera bangkit dari duduknya dan mengambil sebuat tas kantor dan menjingjingnya.

"Papa, sama Sila berangkat, ya, Ma. Mama jangan keluyuran, jagain rumah aja."

"Iya, Pa. Papa tenang aja. Hati-hati, nyetirnya, Pa," ucap Rita pada Wiliam, Wiliam pun tersenyum menanggapi ucapan Rita dan segera menyusul Sila.

 

Huhah. Akhirnya... Satu chapter selesai. Ini masih tentang Sila dan keluarga ya, bab berikutnya ada kumpulan para cogan, siap-siap jiwa-jiwa kehaluan menggelepar.
Dadaaaaaahhhh....

RESILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang