3

1.6K 315 16
                                    

Jeongguk

Kamar sebelah sedang mengadakan pesta kecil-kecilan, sepertinya. Mendengar berisik dan gaduhnya yang membuat Jeongguk hampir saja memaksa masuk dan menghajar semua orang supaya lebih tenang.

Satu hari ini, Jeongguk gagal mengontrol emosi. Tidak tahu juga apa yang jadi sebab. Semua orang seperti membuatnya muak. Ada sesuatu yang mengganjal di hati. Jeongguk pastikan kalau itu bukan berasal dari ia sendiri. Mungkin Jimin, atau karena otaknya sedang tidak mau diajak bekerja sama.

Kasur kamar asramanya dibalut sprei hitam legam. Tidak membiarkan warna lain masuk ke atas tempat tidur. Ponsel Jeongguk jadi menyatu dengan semua perabotan di kasur; bantal, guling. Satu-satunya barang yang berwarna adalah bantal Iron Man yang sedang Jeongguk peluk. Melihat ke langit-langit sambil membiarkan suara bising kamar sebelah menyapa indra pendengarnya dengan terpaksa.

"Jeongguk." Sampai suara di dalam otaknya menyapa halus.

"Sudah pulang? Cepat sekali." Ia berguling ke sisi kiri, berhadapan dengan salah satu sisi tembok kamar yang putih bersih.

"Aku cuma ada satu kelas di hari Selasa. Jadi tidak sampai malam." Jeongguk bisa dengar suara orang mengunyah.

"Kamu makan?"

"Iya." Jimin seperti mengambil jeda. "Suaranya mengganggu, ya? Sorry, sorry."

Jeongguk buru-buru memotong. "Tidak sama sekali, lho. Cuma memastikan saja. Di kamar sebelah ramai sekali. Aku sumpek."

"Ada apa, kok, ramai-ramai? Ada acara?"

"Tidak tahu juga."

"Kamu pasti tipikal yang suka ketenangan, ya. Sampai ada suara sedikit saja, aku bisa dengar kamu menggerutu di dalam hati. Seperti, 'Apa-apaan, sih?' Atau sekadar, 'Cerewet sekali.'."

Jeongguk tidak bakal curiga atau terkejut dengan hal ini. "Padahal yang aku butuhkan simple. Cuma ketenangan di dalam kamarku sendiri. Tapi untuk mencapai hal itu sulit sekali, rasanya."

Orang di seberang sana seperti mengambil posisi lebih nyaman. Jeongguk bisa dengar Jimin yang sedikit-sedikit mengela napas seperti menahan sesuatu. "Mau aku putarkan musik klasik?"

"Boleh. Asal jangan cuma instrumen piano, ya, kak. Aku bosan."

"Kok, bosan? Memangnya kamu mendengarkan musik iringan piano setiap hari, apa?"

"Di sekolah ada ekstrakulikuler musik dan anak musik selalu pakai piano soal alasan-alasan yang bikin aku sedikit geli."

Jimin tertawa tergelak-gelak. "Kamu ini apa-apaan?"

"Habisnya menyeballkan, lho." Jeongguk duduk dan mendongak sedikit. Bertemu dengan tempelan bintang-bintang yang bisa menyala ketika lampu dimatikan. Meski sudah lumayan tidak kentara, Jeongguk masih enggan melepasnya. Lima bintang di dekat tempat lampu utama dan lima lainnya di dekat meja belajarnya. "Mereka apa tidak sadar kalau sudah membuat salah satu kawannya jadi tidak suka dengan iringan piano?"

"Mana aku tahu? Aku tidak bisa melihat bagaimana mereka bersikap. Banyak orang yang dimabuk cinta, Gguk. Dan kamu harus siap-siap kantong keresek kalau tidak mau tertular virus cinta-cintaan itu."

"Apa cinta itu harus dengan sesuatu yang manis, ya?"

"Tidak juga."

"Contoh lain dengan, 'Tidak juga.' Itu apa?"

"Seperti sepasang suami-istri yang sedang bertengkar untuk memertahankan rumah tangga mereka. Tidak ada yang mau berpisah karena masih sama-sama punya rasa tapi keadaan memaksa. Seperti salah satunya punya orang tua yang suma mengolok menantunya. Itu juga cinta, kan?'

"Pertengkaran, ya."

"Banyak yang bilang, ketika kita bertengkar dengan pasangan, itu adalah hal yang lumrah di suatu hubungan."

Jeongguk diam mendengarkan. Melihat bagaimana tempelan di langit-langitnya yang mulai memudar.

"Dan banyak juga yang bilang kalau harus khawatir ketika kita tidak bertengkar sama sekali. Karena kita tidak tahu bagaimana rasa yang dibawa oleh orang lain kepada kita."

"Rasa yang dibawa? Sayang?"

"Emosi bukan cuma itu saja. Amarah, dengki, muak. Sayang adalah satu dari sekian rasa yang dibawa di suatu hubungan, Gguk."

"Apa aku sudah menaruh semua rasa yang aku bawa pada kamu, kak?"

Jimin diam sebentar sampai ia terkikik. "Aku mana tahu. Yang bisa baca hati kamu, ya, kamu sendiri. Meski kita diikat tali takdir, rasamu, ya, milik kamu sendiri. Tidak satupun orang bisa tahu. Bahkan kamu saja biasanya bingung sendiri, kok. Bagaimana dengan orang lain?"

"Kamu keberatan, tidak, kalau aku menaruh semua rasa yang aku bawa kepada kamu?"

"Sedikit."

"Serius."

"Kamu kira aku tidak? Serius sekali, lho."

"Apa seberat itu membawa rasa orang lain?"

"Menjaganya yang berat. Memertahankan lebih berat dari memulai, Jeongguk."

"Aku tidak tahu. Tidak pernah ada yang menjelaskan soal bagaimana cara mencintai yang baik. Aku cuma tahu bagaimana cara bersikap untuk menjaga perasaan orang lain. Berbeda, kan?"

"Apanya?"

"Menjaga rasa orang awam dengan orang yang lebih dekat."

"Sedikit. Bedanya mungkin kamu bakal lebih mudah berekspresi di depan orang yang ditakdirkan dengan kamu. Lebih bisa merasa kalau kamu bisa melakukan banyak hal tanpa takut direndahkan."

"Apa kamu juga bakal melakukan hal yang sama, Jim?"

"Tentu."

"Kalau begitu, syukurlah."


.

.

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang