7

1.2K 247 6
                                    


Jeongguk

Jeongguk melihat dirinya sendiri di depan cermin. Luka yang ia dapat selepas taekwondo memang tidak terkalahkan. Lebam pada lengan dan tulang keringnya masih belum sembuh total. Setelah meletakkan tas sembarangan di kasur asrama, ia mencuci wajah. Tidak ingin melihat dirinya sendiri kumal di pantulan kaca. Mengganti pakaian dengan piyama tidur polos yang sering menemaninya di waktu-waktu tertentu seperti sekarang. Ketika ia merasa sudah waktunya mengorganisir hidup. Tidak mau hidup tidak tertata. Karena ia sering tidur dengan mengenakan pakaian olahraga. Lucu. Tapi itu satu-satunya baju yang ia punya selain untuk berangkat sekolah.

Jari-jari kusamnya jatuh ke pipi. Mengusapnya lembut dengan sensasi kumis dan jenggot yang baru saja dicukur habis. Jeongguk masuk ke tipe orang yang tidak mau ribet tapi justru ia yang kadang lupa kalau ia mengemban misi.

"Mau sampai kapan aku dikalahkan begini." Ia bergumam sendiri.

"Apa?"

Jeongguk terkejut bukan main. Mata kecoklatannya melebar atas apa yang dilantunkan otaknya. Ia tidak menyangka kalau orang di seberang sana sudah terhubung dengan batinnya sendiri. Perasaan yang ia rasa ketika bisa berkomunikasi dengan Jimin adalah berat. Menanggung beban orang lain bukan hal yang sepele. Sedang Jeongguk tidak merasa hawa itu sama sekali, sekarang. Ia seperti masih sendirian di ruangan. Memang teman sekamarnya belum datang. Memilih untuk tidur di kamar orang lain yang melangsungkan pesta kecil-kecilan.

"Sorry. Aku tidak bermaksud mengganggu, kak. Aku tidak tahu kalau kamu bisa dengar." Ia buru-buru minta maaf kalau-kalau ada sumpah serapah yang tidak sengaja lewat di otaknya dan mengganggu Jimin atau membuat pemuda di seberang sama berasumsi itu ditujukan untuknya.

"Pikiran kamu berisik sekali, lho, Gguk. Aku tidak tahu bagaimana rupa kamu sekarang tapi sepertinya kamu sedang menjalani hari yang tidak begitu baik. Mau cerita? Aku bakal diam dan mendengarkan."

"Pasti sudah bawa cemilan." Jeongguk mendudukkan dirinya di tumpukan bantal yang sengaja disediakan untuk duduk. "Kamu dulu beritahu. Bagaimana kuliahnya?"

"Aku libur hari ini. Seharian aku cuma di kamar dan sesekali mampir ke bawah karena harus bicara dengan Hoseok. Dia yang punya rumah. Pamali kalau tidak enakan dengan orangnya."

"Aku setuju."

"Lalu kamu bagaimana? Apa yang mengganggu pikiran kamu sampai kamu berisik sekali."

"Tidak ada. Aku cuma muak dengan luka-luka bekas olahraga. Karena lebam jadi hilangnya sedikit lebih lama. Aku sudah memerkirakan kalau bakal memudar sekitar satu minggu yang akan datang. Tapi malah semakin parah."

"Kamu tidak mau ke dokter?"

"Untuk apa?"

"Membuat kamu merasa lebih baik. Konsultasi soal luka kamu." Jeongguk bisa dengar Jimin membuka lembar-lembar kertas. Seperti sebuah buku tapi Jeongguk bisa dengar akhir dari kertas yang Jimin pindahkan.

"Sedang belajar?"

"Mengecheck tugas yang harus dikumpulkan minggu depan." Suara Jimin bergerak ditambah dengan beberapa decakan membuat Jeongguk berasumsi kalau pemuda itu sedang makan eskrim. Mungkin terkena gigi sensitif karena Jimin kadang mengaduh dalam hati.

"Tugasnya susah, ya?"

"Tidak, kok. Tapi karena waktu yang diberikan sedikit, jadi aku harus memeriksa ulang. Malas sekali kalau kembali karena kata atau kalimat yang tidak pas."

"Salah tulis juga dihitung kesalahan?" Jeongguk menaiki tangga kasur dan merbahkan diri. Tempat tidurnya memang ada di atas mengingat itu adalah kasur susun asrama. Ia mendekap erat bantal Iron Man dan mulai berkutat dengan telefon genggam.

"Ada yang dihitung, ada yang tidak. Tergantung dosennya, Gguk."

Satu foto lewat di beranda sosial media Jeongguk. Tiga tusuk satai domba dengan asap yang masih mengepul. Barang tidak sengaja menggeser ke arah kanan, ia temukan video seseorang yang tengah membakarnya. "Kak Jim."

"Aku bisa dengar kamu bilang, "Wah." Dari sini, Gguk."

"Iya. Itu yang mau aku beri tahu."

"Apa?"

"Nanti waktu kita sudah ketemu, aku ingin beli satai domba. Kakak harus ikut supaya tahu bagaimana rasanya. Kapan, ya, terakhir kali aku merasakan enaknya?"

"Di sana tidak ada?"

"Sayangnya tidak."

Jeongguk meletakkan Iphone 8 miliknya di sisi kiri kepala. Membuat pikirannya penuh dengan angan-angan bertemu dengan Jimin. Apakah mereka bisa dibilang mirip? Atau punya sesuatu yang lainnya untuk bisa dibedakan? Bagaimana kira-kira rupa wajah Jimin dengan bibir penuh yang beberapa kali ia perjelas. Bagaimana dengan tinggi mereka yang sudah terlampau jauh untuk Jeongguk. Apakah Jimin adalah orang yang suka bercerita, sama seperti ketika mereka terhubung. Seperti banyak kata yang tidak tersampaikan. Batin Jimin dikuras habis untuknya berbicara sendiri di dalam batin. Jeongguk tidak pernah tega untuk menanyakan hal yang Jimin pendam. Bukan ranahnya kalau Jimin memang tidak mau mengungkapkan apa yang ia rasa. Jimin juga tidak boleh merasa bersalah karena tidak memberitahu Jeongguk atas kehendaknya sendiri.

Jeongguk bukan siapa-siapa di kehidupan Jimin sebelum ini. Ia tidak tahu menahu soal bagaimana pemuda itu menjalani hidup. Bagaimana kabar orang tuanya atau pertanyaan simple seperti dimana tempat tinggal dan Jimin tumbuh. Siapa kawan terdekatnya? Apakah Jimin pernah menjalin cinta sebelum bertemu dengan Jeongguk yang ditakdirkan.

"Jimin." Jeongguk menimang kata yang hendak ia ungkapkan.

"Iya?"

"Kita bakal bertemu. Aku janji." Dekapan lengan di boneka Iron Man Jeongguk mengerat. Menahan tangis yang hendak pecah. Enggan membuat Jimin kebingungan kenapa ia bisa menitihkan air mata.

"Bagaimana kamu bisa begitu yakin ketika kita saja tidak tahu banyak satu sama lain?"

"Ajari aku memahami hidup yang kamu jalani. Nanti kita gantian. Aku yang bakal menceritakan bagaimana aku hidup dan bagaimana aku tumbuh sampai sebelum kita disatukan."

"Kamu tahu, Jeongguk?"

"Hm."

"Kamu berhasil menguatkan aku dengan dua kalimat yang sangat ingin aku dengar. Kepastian yang tidak bisa semua orang berikan. Aku selalu mencari kemana aku bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kecil yang tidak bisa aku utarakan kepada kamu, kepada teman-temanku."

"Aku mendengar semuanya."

"Terimakasih. Aku sangat menghargai itu."

Jeongguk tidak pernah merasa sebahagia ini dalam hidupnya.


.

.

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang