"Kau suka pie apel? Ibuku membawakan banyak untukku hari ini."
Mean melihat Plan yang hanya mendongak menatapnya, tidak berdiri dari posisi duduk, dengan senyum yang selalu Mean suka tentu saja. Mean kemudian mengambil duduk didepan Plan setelah pria manis itu mempersilahkan, dan meletakkan satu keranjang berisi sekitar enam buah pie apel diatas meja.
"Aku ingin sekali memakan ini," Plan beralih beradu pandang dengan Mean yang tersenyum kepadanya. Plan tidak bohong tapi pria ini memiliki senyum bulan sabit, membuat sudut bibirnya ikut terangkat.
"Kau boleh menghabiskan semuanya, Plan."
Tiba-tiba saja senyum yang seirama dengan musim semi itu memudar, bersamaan dengan lenguhan panjang dari si pria manis ini.
"Ada apa?" Mean bertanya, sedikit khawatir dengan perubahan raut muka pada Plan.
"Aku tidak bisa memakan ini bahkan ketika perutku ingin sekali menelan ke-enam-enamnya, Mean." mata bulat dan jernih itu sedikit menyipit, berubah dengan pendar redup yang hampir saja membuat hati Mean mencelos keluar.
"Maaf—maaf sekali, untukmu, dan Ibumu." Plan menyatukan tangannya didepan dada, lagi-lagi Mean dibuat terenyuh, kaget, juga tidak mengerti harus bagaimana.
"Ah! Kau bisa memakannya sendiri, aku akan menemanimu menghabiskan ini, anggap saja perwakilan?"
Mean terkekeh pelan, ia mengusak helaian rambut Plan yang sudah sedikit berantakan terkena sapuan angin pagi.
"Lupakan tentang pie," ujar Mean, kemudian, "Bagaimana perasaanmu pagi ini?"
Plan membuat dengungan dengan suaranya, dia terlihat memikirkan apa saja yang kiranya ia rasakan pagi ini.
"Baik," jawab Plan dengan senyum bahkan anggukan kepala ringan, "Aku menyapa paman Janson, juga bibi Margareth."
Mendengar ocehan Plan, Mean munyunggingkan senyum.
Plan melanjutkan, "Bibi Margareth semakin tua, dan dia harus membersihkan kapel setiap sore dan pagi—"
"Pagi dan sore, Plan."
"Oiya, benar—setiap pagi dan sore, kau tidak kasihan? Karna aku kasihan, kenapa rumah sakit tidak menggantinya dengan bibi-bibi yang lebih muda?"
Mean tertawa, lagi-lagi ia mengusak helaian rambut Plan, "Karna bibi Margareth masih membutuhkan pekerjaan, Plan. Dia butuh uang untuk keluarganya dirumah, kalau beliau digantikan, kau mau menghidupi keluarga mereka?"
Bola mata Plan membola, "Tidak." kemudian menggeleng, "Tentu saja tidak! Uang darimana aku, yang aku lakukan sepanjang tahun hanya membuat orang-orang susah, aku ini lahir untuk jadi polusi dibumi saja, kau tau?" Plan tertawa, ia menutup buku berjudul Sparkling Cyanide karya Agatha Christie yang sudah ia bacanya selama setahun ini, namun tak kunjung selesai.
"Siapa yang sudi merawat orang peyakitan sepertiku? Kecuali ibuku," Plan menoleh pada sisi sebelah kanannya, melambai pada paman Janson yang asik berjemur di depan bilik kamar beliau, dekat dengan patung Bunda Maria, sejajar dengan bunga edelweiss yang tumbuh lumayan subur.
Entah bagaimana, Mean tidak suka mendengar Plan berbicara mengenai hidupnya dengan cara merendehkan seperti itu. Ia mengernyit, menatap Plan yang belum juga meredakan senyumnya menatap kearah paman Janson, pasien tua renta yang sakit-sakitan karena dimakan usia.
"Kau mungkin sudah menjadi sumber kebahagian untuk seseorang, jangan mengatakan hal-hal seperti itu didepanku—bahkan didepan yang lain, Plan."
Plan tertawa menanggapi kalimat dari Mean, "Siapa yang bahagia berkawan dengan orang penyakitan sepertiku, Mean? Kau lucu sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
a delusions of happiness | end'
Fanfiction"Aku tidak percaya cinta lagi sampai aku menemukanmu berjinjit diujung lorong, kau manis sekali Plan." -Mean Mean tidak menyukai kisah cinta klasik, itu sangat membosankan. Mean tidak menyukai kisah cinta klasik, tapi dia mencintai Plan dengan ceri...