Tipak Talas

10.5K 439 1
                                    

Widya melihat Tipak talas seperti sebuah lorong panjang hanya saja, dindingnya adalah pepohonan besar dengan akar di sana-sini, selain medan tanahnya yang menanjak, di depan Tipak talas, ada gapura kecil, lengkap dengan kain merah dan hitam di sekelilingnya.

pak Prabu pernah bercerita, kain hitam adalah nama adat untuk sebuah penanda seperti di pemakaman, namun bukankah warna cerah lebih baik untuk menjadi sebuah penanda, sebelum Widya tahu kebenaran dari warga yang bercerita, bahwa hitam yang di maksud adalah simbol alam lain.

hitam bukan untuk yang hidup, melainkan untuk tanda bagi mereka yang sudah mati. MATI

lalu, apa maksud penanda warna merah?

konon, dari seluruh tempat yang di beri penanda sebuah kain di desa ini, hanya gapura ini yang di beri kain warna merah, apalagi bila bukan simbol petaka

Widya mulai melangkah naik, kakinya tidak berhenti mencari pijakan antara akar dan batu, sembari tanganya mencari sesuatu yg bisa menahan berat tubuhnya

Malam sangat dingin, dingin sekali. hanya kabut di tengah kegelapan yg bisa Widya lihat, butuh perjuangan keras untuk sampai

ketika Widya sampai di puncak Tapak tilas, Widya hanya melihat satu jalan setapak, kelihatanya tidak terlalu curam, namun rupanya butuh ekstra perjuangan juga, disana, Widya merasakanya, perasaan yang tidak enak dari tempat ini, semakin kentara, hal itu, membuat Widya merinding.

jalan setapak itu tidak terlalu besar, di kanan-kiri di tumbuhi rumput dan tumbuhan yang tingginya hampir sebahu Widya, dari sela tumbuhan dan rumput, Widya bisa melihat hutan yang benar-benar hutan, pohon menjulang tinggi dengan tumbuh2an disekitarnya yang tidak tersentuh.

sangat mudah mengikuti Bima, karena hanya tinggal mengikuti jalan setapak, namun, setiap kali Widya berjalan, selalu saja, dari balik semak atau rerumputan, seperti ada yang bergerak-gerak, kadang ketika Widya mencoba memandangnya, suara itu lenyap begitu saja.

Tanahnya keras, dan lembab. namun Widya terus menembus jalanan itu, semakin lama semakin dingin, dan sudah beberapa kali Widya berhenti untuk menghela nafas panjang. 

jalanan ini, sepeti tidak berujung, namun, bila kembali, Widya tidak akan tahu apa yang dikerjakan Bima disini.

hal yang cukup di sesali Widya hanya satu, ia hanya mengenakan sandal selop, memang, apa yang Widya lakukan malam ini, spontan karena penasaran, tanpa persiapan, tanpa teman, dan sesal itu, kian bertambah saat Widya mulai mendengar gending.

ya. suara yang familiar,

nada yang dimainkan adalah kidung yang Widya dengar saat ia berada di bilik mandi, bersama Nur, sedangkan alunan gamelan yang dimainkan adalah alunan yang sama saat Widya mencuri pandang pada penari yang menari di malam dia bersama Wahyu.

bukanya lari, Widya semakin menjadi-jadi

semakin jauh, suaranya semakin jelas, dan semakin jelas suaranya, semakin ramai bahwa disana, Widya tidak sendirian.

namun, yang Widya temui, adalah ujung Tipak talas, yaitu, sebuah tumbuhan yang di tanam tepat di jalan setapak.

tumbuhan itu, adalah tumbuhan beluntas.

tumbuhanya kecil, tapi rimbun, samping kiri kanan, sudah gak bisa di lewati, kecuali bila membawa parang, dan tentu saja butuh waktu yang lama untuk membabat semak belukar, namun, wangi tumbuhan beluntas seharusnya langu, namun yang ini, wanginya seperti aroma melati,

KKN DI DESA PENARI (Versi Widya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang