S(e)umur Hidup

217 8 7
                                    


"Oke, aku tahu kamu kesakitan. Tapi tolong, tetap buka matamu, tolong tetap jaga kesadaranmu. Sebentar lagi akan selesai, tak akan lama."


"Argghh!"


Eram seorang wanita yang mulutnya tersumpal kain penuh darah. Kedua tangannya mengepal kuat, tak kuasa pula ia membuka matanya kala ia menahan sakit.

"Baiklah, ini dia!" Ucap lelaki yang nampak layaknya seorang dokter. Helaian perban putih ia genggam erat, sementara tangan yang satunya meneteskan perlahan cairan alkohol kearah luka tembak di perut bagian kiri si wanita.

Bak air mancur, darah kental berwarna merah segar terus terciprat dari lubang kecil yang ditinggalkan oleh butiran peluru yang baru saja dikeluarkan dokter tersebut. "Aku minta kamu tahan bagian sini!" Titahnya cepat pada sang wanita sambil menunjuk kearah lukanya.

"Hmmmh!" Dengan sedikit anggukan, wanita itu segera mengiyakan.

Tarikan nafas ia tahan ketika tangan kanan ia gunakan 'tuk menekan kuat lubang diperutnya. Kini, tak banyak darah yang keluar dari situ, namun wajah pucat pasi menggambarkan kesadarannya yang hampir hilang.

Untaian perban langsung sang dokter lilitkan diatas luka, lalu mengikat kedua ujungnya dengan erat sampai pendarahan terhenti.

"Oke, hampir sampai!" Cetus sang dokter.

Kembali ia meneteskan cairan alkohol dari botolnya, namun dengan dosis yang lebih banyak. "Aku tak akan bohong, ini pasti sakit. Tahanlah!" Sambil menatap wanita tersebut, ia menggelengkan kepalanya pelan.


"... ARGGHH!"


Sambil terus menahan nafas, wanita itu mengeram sekuat tenaga saat cairan alkohol berhasil menyentuh permukaan lukanya. Satu lengannya kini ia gunakan 'tuk menutupi kedua mata yang mengeluarkan banyak air, sementara lengan yang lain menggenggam erat baju bagian bawah sang dokter, seakan ia menggantungkan nyawa padanya.


"Oke, selesai. Kau hebat!" Puji sang dokter sambil terengah – engah namun dengan nada lembut.

Dengan bersimpuh diatas lantai, sang dokter mengarahkan pandangannya pada wanita yang baru ia selamatkan. Pernapasan wanita itu kian membaik dari sebelumnya, rambut sebahu itu terurai acak acak-an namun tak menghalangi wajahnya. Masih menutupi kedua mata menggunakan lengan kanannya, ia membisikkan sesuatu dengan lirih.

"Nia. Nia Castarica." Yang kemudian direspon sang dokter dengan kerutan dikening ketika mengernyitkan kedua alisnya.

"Tadi, saat masih diluar kau yang menanyakan itu, kan?,,, Namaku." Lanjut Nia sambil mengepalkan lengan kirinya lebih keras di baju sang dokter.

"Nama yang bagus." Jawab sang dokter yang kemudian dibalas oleh anggukan kecil sebelum ia kehilangan kesadarannya.


***


"Kenapa?" Tanya Nia datar sambil menatap langit – langit. "Kenapa harus menyelamatkanku?"

"Aku juga tidak menyukai perang ini." Dijawabnya pertanyaan Nia dengan datar pula. "Aku tak pandai membunuh orang."


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
S(E)UMUR HIDUPWhere stories live. Discover now