Hidup Tiga Belas Tahun

22 2 0
                                    

Bocah itu hanya salah satu di antara banyak manusia yang terlahir menjadi cacat. Dia kerap pergi ke suatu tempat untuk menyendiri. Menangis terisak dan memukul-mukul dadanya supaya merasa lega. Lalu, kembali ke peradaban sebagai orang yang berbeda.

Ketika orang-orang bertanya, “Pergi ke mana kamu? Kenapa tadi kamu tidak ada?” bocah itu hanya tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya. Mereka berhenti bertanya dan melanjutkan pekerjaanya yang tertunda. Begitupun bocah itu juga sibuk dengan urusannya. Di antara sekian banyak kumpulan manusia di ruangan itu. Banyak jiwa yang seharusnya diselamatkan. Namun, mereka tak menyadari jiwa mana yang seharusnya diselamatkan atau seharusnya dibiarkan saja karena toh itu bukan urusan mereka. Dan di sini sikap individualisme akan menjadi ego yang sangat besar hingga tak terhingga. Ikut
campur akan membuatmu dalam masalah dan mereka lebih memilih menghindari itu dari pada menjadi manusia sok sosial. Sungguh merepotkan.

Beberapa kali bocah itu menahan bagaimana ia diperlakukan tak semestinya. Dijegal beberapa kawannya hingga wajahnya membentur tanah dan lututnya bergesekan hingga dipenuhi pasir yang menempel di lecetnya.

“Wah, maaf ya kakiku terpeleset” ucap salah satunya.

“Tidak apa-apa” kata bocah itu sambil tersenyum sekilas kemudian pergi dari sana. Ia pergi ke kamar mandi guna membersihkan luka-lukanya supaya tak infeksi. Padahal kalau dipikir-pikir membersihkan luka-luka itu tak ada gunanya ketika setiap hari luka itu akan
terus bertambah menggantikan beberapa yang sudah sembuh. Hingga mungkin akan memenuhi sekujur tubuhnya dengan bekas luka dan borok. Ia rasanya ingin menangis saja mengingat betapa perihnya ketika luka-luka itu terkena air. Namun, dari pada luka-luka di tubuhnya ia lebih merasa perih di dalam yang sudah mati perlahan-lahan.

“Mungkin aku harus terpeleset hingga jatuh ke bawah balkon” monolognya
bersamaan dengan air matanya yang menetes membasahi wajahnya.

Bocah itu tak kembali lagi ke kelas. Bahkan sampai jam sekolah berakhir ia tak
kunjung menampakan batang hidungnya. Hanya tasnya yang masih berada di bangku kelas. Raganya tak nampak. Namun, tak ada yang memperhatikan ketidakhadirannya. Nyatanya, ia
memang tak pernah terlihat. Ia semu, tak nampak di antara kerumunan orang.
Ternyata bocah itu hanya sedang mendekamkan dirinya dibalik bilik kamar mandi. Menekuk dan merapatkan lututnya. Mendekamkan wajah di antara lututnya sambil terisak pelan supaya tak ada yang tahu perihal keberadaanya. Awalnya ia berpikir untuk melompat
dari balkon atas sekolahnya supaya ia tak perlu lagi menahan rasa sakit. Lalu, ia berpikir bagaimana kalau ternyata ia hanya sekarat? Apakah akan lebih menyakitkan? Kenyataanya bocah itu juga takut mati dan ia sendiri sudah lama menjalani kematian perlahan-lahan setia
hari. Raganya nampak tapi hatinya sudah lama mati. Hanya tersisa luka yang terus
membekas.

“Rudi, kamu bolos pelajaran lagi. Ini sudah keterlaluan, kamu tahu?”

“Saya tahu, maaf”

“Kalau kamu masih begini, terpaksa ibu harus memanggil orang tuamu”

“Orang tua saya tidak akan datang”

“Kalau begitu biar ibu yang telepon sendiri orang tuamu.”

Bocah itu hanya berdiam sambil menundukan kepalanya. Ia memandang lantai tak acuh. Menebak-nebak apakah ibu gurunya akan benar-benar menelepon orang tuanya? Mungkin saja hanya berupa panggilan kosong yang tertera di layar ponselnya. Kenapa baru menelepon sekarang? Bukan awal-awal saat mereka belum mengganti nomor ponsel yang
baru. Ia sendiri saja tidak tahu nomor onsel orang tuanya yang baru.

“Orang tuamu tidak bisa dihubungi”

“Sudah saya bilang, Bu. Mereka tidak akan datang”

“Beri tahu nomor telepon orang tuamu”

“Saya sendiri juga tidak tahu, mereka tidak pernah menghubungi saya juga. Bu,
bisakan kita tidak perlu melibatkan orang tua saya?”

“Kalau begitu ini peringatan terakhir, kalau kamu masih membolos maaf terpaksa ibu
harus mengambil keputusan dengan kepala sekolah untuk mengeluarkanmu.”

Iya, bocah itu tahu pada akhirnya peringatan itu tak akan ia gubris. Dan berakhir dirinya dikeluarkan dari sekolah. Ia juga tak ingin begitu tapi ia terpaksa. Mungkin hidupnya akan terasa lebih baik setelah dikeluarkan. Setelah tu, Rudi hanya mengangguk mengiyakan gurunya dan berbalik ke kelas mengambil tasnya.

Ia tak tahu mana yang seharusnya ia pilih. Mati saja karena sengaja menabrakan diri ke mobil atau membiarkan raganya terus-terusan penuh luka supaya mati pada akhirnya. Pilihan itu terlalu rumit ketika dirinya sendiri takut untuk mati. Bagaimana hidupnya setelah mati? Apa akan gelap gulita saja atau berakhir ke jalan yang seharusnya tak ia lewati menuju akhirat. Kenapa bocah SMP harus memikirkan hal-hal mengerikan itu coba. Sudah kubilang ia hanya terpaksa. Bocah itu bahkan dipaksa dewasa meskipun seharusnya ia belum saatnya menjadi dewasa. Dan menjadi dewasa sungguh menyakitkan ketika tak ada yang mendukung di sampingnya.

Hidup ini terasa sangat lama meskipun rasa-rasanya usia Rudi baru menginjak tiga belas tahun. Seperti ia sudah berada di dunia ini sekitar berabad-abad, tidak itu terlalu berlebihan. Tapi, rasanya sangat lama. Bahkan di setiap detiknya terasa berjalan sangat-sangat lambat. Makanya ia sendiri rasanya sudah sangat lelah. Semuanya terasa melelahkan.

Dulu ada mitos bahwa saat usiamu menempuh tiga belas tahun dan kau bisa
bertahan untuk setahun ke depan, kau akan selamat sampai menempuh usia 43 tahun. Dan ia berharap bahwa mitos itu menjadi kenyataan sekarang. Mungkin saja hidupnya tinggal beberapa menit lagi.

Rudi memikirkan hal apa yang akan menimpanya supaya menuju kematian. Ia sudah memikirkan hal itu sampai rasanya otaknya hampir melepuh. Hingga ia tak sadar bahwa dirinya berada di tengah jalan raya dengan para pembalab liar yang melajukan motornya sangat kencang. Menabrak Rudi dan membuatnya terpental begitu jauh dari tempatnya
berjalan tadi. Semua yang ada di sana melihat keadaanya tanpa satu pun yang menelepon ambulans. Bahkan ketika bocah itu kejang-kejang karena pendarahan di kepalanya, ambulans masih belum datang. Sudah terlewat hampir sepuluh menit dan tak ada satu pun yang berniat membawa bocah itu ke rumah sakit supaya mendapat pertolongan pertama.

Dalam bayang-bayang Rudi, ternyata begini rasanya mati tidak sengaja. Meskipun pelakunya sudah melarikan diri sejak tadi. Sama sekali ia tak merasa kesakitan. Atau mungkin karena ini bagian dari kematian diusia tiga belas tahun. Rudi sekarang tahu bahwa
hidupnya memang sudah berakhir. Ia sudah memperhitungkan bahwa hidupnya memang sampai usia tiga belas tahun saja. Usia tiga belas tahun tak begitu buruk, pikirnya. Meskipun usia tiga belas tahun terlalu muda untuk menuju kematian. Bahkan dirinya belum mencapai
seperempat abad. Tidak apa-apa usia tiga belas mungkin menjadi angka keberuntungan untuk mati. Mungkin ia bisa bertemu Penciptanya.

“Aku sudah pulang”.

Bunga Yang Mekar Bersama DaunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang