Prolog

14 0 0
                                    


Apapun statusnya tiap manusia punya posisi yang sama di depan Tuhan. Tolak ukur masyarakat tentang tampang, status, harta, atau apapun yang bersifat dunia ga ada artinya. Tapi, gua pernah terlalu perduli dengan semua itu dengan pendapat mereka terhadap gua. Gua lupa kalau gua hidup demi diri gua sendiri bukan demi orang lain. Gua sering lupa kalau gua dan mereka sama-sama manusia. Ga ada derajat yang beda, gua lupa kalau gua dan mereka sama-sama punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dulu, gua terlalu sering membandingkan diri gua sendiri dengan orang lain, gua lupa kalau sejatinya ga ada yang perlu dibandingkan.

Akhirnya gua jatuh di titik paling rendah dalam hidup gua. Gua makin sering membandingkan diri gua dengan orang lain. Yang gua fokusin cuman kekurangan gua, gua makin ga percaya diri apalagi setelah dengar pendapat orang lain tentang gua.

Sampe gua ketemu dia, gua serasa ditampar keras banget di pipi supaya gua sadar kalau bahagia yang gua kejar itu ga harus dengerin pendapat orang lain. Dia bener-bener buat gua sadar kalau bahagia yang gua cari itu cuman bisa gua dapat  dengan cara mencintai diri sendiri.

Dia ga beda kaya orang-orang disekeliling gua, dia sama kaya orang lain. Ga sempurna, punya kelebihan dan kekurangannya. Dia juga kadang bisa bosen, terus dengan randomnya dateng malam-malam ke kos gua dengan alasan "pengen cari angin". Dia random, gua kadang bisa bingung dengan segala sikapnya. Dia bisa ga ngabarin gua seharian, tapi bakal muncul pagi-pagi di depan kos dengan pakaian yang udah rapi dengan keadaan gua yang masih dalam berantakan dan dengan santainya bilang "buruan mandi, temenin gua beli sarapan". Dia selalu seabsurd itu, tapi dia juga selalu buat gua yakin, kalau bahagia gua itu ga mahal.

Semesta memang penuh kejutan, semesta selalu ngasih gua kejutan lewat dia. Dia akan jadi orang yang selalu paham, dan gua masih berharap kalau dia ga akan pernah lelah sama gua.

ButtercupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang