Satu

88 11 0
                                    

"Jika takdirku buruk, kenapa yang lain tidak? Kita sama-sama manusia bukan?"

                             ***
"Pagi yang cerah, tapi tidak dengan takdirku." Batinku.

Aku menuju taman depan rumah, menemui bunda dan kania kembaranku, untuk sekedar pamit berangkat sekolah.

"Bun naya berangkat ya?" Pamitku.

 "Gausah pulang sekalian, bunda gak butuh kamu." ketus bunda.

Taman minimalis penuh kisah tangis? Ahaha mungkin itu yang terlintas di pikiranku saat melihat taman ini.

Aku mengabaikan mereka mengambil sepedaku, kukayuh sepeda itu dengan sisa tenagaku.

Bukankah ini masih pagi? Bahkan aku belum memulai aktivitas apapun tapi kenapa aku menyebut sisa tenaga? Tak lain karena tenagaku terkuras oleh kata-kata bunda yang menusuk hatiku.

SKIP..

Aku sekolah di SMA favorit didaerahku, kadang aku berfikir "apakah aku pantas sekolah disini? Bahkan mereka yang memiliki kemampuan akademik banyak yang ditolak disekolah ini, sedangkan aku? Aku hanya memiliki kemampuan non akademik."

Tapi hatiku menyangkalnya "kalau aku memang tak pantas, lalu kenapa diterima? Aku lebih dari pantas!"

Sesampainya disekolah, aku langsung menuju taman belakang sekolah yang sepi dan ditumbuhi beberapa bunga dengan lebatnya. Aku menyukai tempat ini, suasana dan udaranya mengusir jauh pikiran burukku.

Aku terdiam sejenak, berfikir dan menikmati suasana pagi yang tidak akan pernah aku dapatkan dirumahku sendiri.

Aku mengambil sketchbook dan pensil dalam tas kecilku, melukis seorang gadis yang terduduk dikegelapan bersama beberapa burung yang menemani kesunyiannya.

Bukankah itu diriku? Lebih tepatnya aku melukis kegelapanku sendiri.

                     ****

Kring...kring...kring.. it's time to begin to first lesson.

"Sialan!" Umpatku.

Aku memasukkan sketchbook dan pensilku, tapi ada yang masih terasa ganjal padahal semua peralatanku tidak ada yang tertinggal.

Aku melihat keadaan sekitar "masih sepi, bahkan disini selalu sepi. Tapi, kenapa aku merasa diawasi?" Batinku.

Masa bodo dengan pikiranku, aku segera berlalu menuju kelasku. Tapi aku masih merasa diikuti seseorang, seperti ada sepasang mata yang terus mengawasi gerak-gerikku.

Aku memperlambat langkahku, memeriksa sekitarku, tetap saja tidak ada seorangpun yang bisa kulihat.

Aku mempercepat langkah, meskipun merasa ada yang mengikutiku. Entah itu hanya perasaanku atau memang benar ada yang mengikutiku.

Kelasku berada diujung lorong ini, lebih tepatnya disamping ruang BK. Sudah dipastikan kelasku paling diam diantara kelas lainnya, tapi ada beberapa anak yang nekat berulah yang sudah pasti langganan ruang BK. Mereka adalah Hanz, Ken, dan Gea mungkin aku salah satunya.

Ralat.

Aku memang langganan ruang BK dan mereka adalah sahabatku.

Mungkin kalian berfikir, "bagaimana bisa remaja-remaja seperti itu langganan BK tapi tidak di D.O? Padahal mereka sekolah disekolah elite yang sangat mementingkan nama baik dimasyarakat."

Cukup jelas, kami siswa siswi yang memperoleh paling banyak piala, dan kami sering membawa nama baik sekolah kami keluar negeri. Baik itu bidang akademik maupun non akademik.

Khususnya, aku adalah satu-satunya murid yang memperoleh piala non akademik. Bahkan aku memenuhi 1 lemari khusus piala non akademik disekolahku.

Tapi sayang, itu tidak cukup untuk membayar kasih sayang bundaku.

Tak apa, setidaknya itu mengukir kebanggaan dalam diri dan membuka gerbang sekolah selebar-lebarnya tanpa biaya.

KanayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang