Tiga

48 9 0
                                    


  Ruangan bernuansa putih dengan variasi tirai hijau, bau obat-obatan yang kuat dan peralatan medis menyambutku saat membuka mata.

"Rumah sakit?" Gumamku.

   Aku mengingat-ingat apa yang terjadi sampai aku ada disini. Aku melihat sekeliling ruangan ini, hanya ada aku, dan beberapa perawat disini. Bunda juga tidak terlihat disini.

"Bodoh! Bunda gak akan kesini, bunda udah gak peduli." Rutukku.

"Nona Naya, silahkan istirahat dahulu, nenek sedang mengurus administrasi." Kata salah satu perawat disini.

"Nenek? Nenek saya disini sus? Sama siapa ya?" Tanyaku penasaran.

"Kurangtahu, tapi sepertinya nenek anda bersama cucu laki-lakinya." Jelas suster.

"Terimakasih sus." Jawabku dengan senyum simpul.

Cucu nenek itu pasti bang Sya'if. Dia tinggal bersama nenek sejak orang tuanya meninggal.

Jika benar mereka ada disini,  ini benar-benar kabar baik untukku, aku merindukan mereka. Aku ingin bersama mereka.

"Bang Sya'if enak ya, disayang nenek. Mungkin diposisi Bang Sya'if enak ya gak ada yang nuntut buat jadi sesuatu yang diinginkan orang tua, aku ingin seperti itu." Gumamku.

"Hust, itu mulut suka ngelantur! Sini tabok." Jawab Bang Sya'if tiba-tiba.

"Eh abang, tapi benerkan yang aku bilang?" Tanyaku.

"Gak boleh gitu, bunda kamu sayang kamu kok. Jangan benci bunda, bagaimanapun bunda tetap orang yang berjasa buat kamu. Apapun yang dilakukan bunda, ingat kalo gak ada bunda kamu gak akan lahir." Jelas bang Sya'if.

"Tapi bang, aku capek. Aku capek nerima itu semua dari bunda, bukan hanya bunda bang, sekolahku juga bermasalah denganku. Aku lelah dengan hidupku seperti ini, jika orang tuaku saja tidak menginginkanku kenapa Tuhan tidak menjemputku? Aku gak mau Tuhan jemput bunda, tapi aku mau jauh dari bunda." Keluhku.

"Mulai sekarang kamu sama nenek, urusan sekolah biar nenek yang urus." Kata nenek saat memasuki ruangan ini.

Air mata berhasil lolos dari kedua mataku, aku bahagia akhirnya Tuhan mengabulkan do'aku. Aku terpisah dengan bunda, dan aku akan membuktikan pada bunda. Sukses bukan tentang prestasi akademik saja.
 
                         ***

"Dek, entar jam 8 pagi kamu boleh pulang. Abang nyari sarapan dulu, kamu mau nitip apa?" Tanya Bang Sya'if.

"Bubur ayam" jawabku singkat.

Aku mulai mengemasi barang-barangku. Masih sulit dipercaya aku tinggal bersama nenek, seperti mimpi.

"Bunda, Naya akan buktikan Naya punya masa depan!" Batinku.

Aku yakin ini adalah tangga pertama yang aku lalui untuk meraih mimpi, tidak ada yang tidak mungkin selagi aku kuat dan tidak peduli dengan apa yang mereka bicarakan tentang perjalananku.

Aku percaya, Tuhan akan berpihak pada orang yang berusaha dan berdo'a.

Suatu saat nanti, Naya akan membawa nama baik bunda. Naya gak pernah benci bunda, sekalipun yang bunda lakuin ke Naya membunuh Naya perlahan.

"Dek!" Seru bang Sya'if yang membuyarkan lamunanku.

"Ha? Eh iya-iya, apa bang?" Jawabku kebingungan.

"Jangan ngelamun! Entar kerasukan tahu rasa kamu." Tegur bang Sya'if dengan menyodorkan bubur ayam.

"Iya bang, tadi khilaf." Elakku sambil menyambar bubur ayam pesananku.

  Aku makan tanpa mengalihkan konsentrasiku pada rencana-rencana yang akan aku lakukan dirumah nenek.

  Tanpa sadar, sedari tadi bang Sya'if memperhatikanku dan mulai menaruh curiga.

"Dek, makan yang tenang! Gausah mikir berat-berat. Kek ibu negara kamu tuh." Ledek bang Sya'if.

"Iya bawel." Ketusku.

Beberapa menit sudah berlalu sebentar lagi aku pulang ke rumah nenek. Aku sudah benar-benar siap untuk memulai hidup baru.

"Selamat pagi, gimana? Udah baikan? Kamu jangan melakukan hal-hal berat yang memicu penyakitmu." Jelas dokter sambil melepaskan infus yang melekat ditanganku.

"Iya dok." Jawabku dengan senyum simpul.

                       ***

  Aku menyusuri lorong rumah sakit bersama bang Sya'if, tak jarang bang Sya'if menegurku karena aku kegirangan sampai lupa kalau aku baru saja sembuh.

Disepanjang perjalanan kami, bang Sya'if terus saja berbicara membahas segalanya tapi hanya 1 yang menarik perhatianku, yaitu tentang masalah sekolahku.

"Dek, Pak Wanto mau minta maaf sama kamu." Kata bang Sya'if tiba-tiba.

"Kenapa?" Tanyaku kebingungan.

"Pak Wanto sudah mengakui kesalahannya, dia mengaku kalau dia terlalu cepat mengambil kesimpulan tentang masalah itu." Jelas bang Sya'if.

"Oh, baguslah." Jawabku tidak peduli.

Hening menyergap seketika, kami sibuk pada pikiran masing-masing. Kami terus berjalan kearah parkiran dan pulang tetap dengan keadaan hening.

KanayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang