Dua

57 9 7
                                    

  "Nay, dipanggil Pak Wanto tuh!" Teriak dito, teman sekelasku.

  "Oh makasih" jawabku singkat.

   Aku langsung pergi menuju ruang BK dengan santai karena tidak merasa memiliki masalah apapun, dan sudah lama aku tidak membuat onar.

  "Ada masalah apa kamu sama Fajar?" Aku mendengar suara samar-samar itu dibalik pintu ruang masalah.

"Permisi pak," sapaku saat memasuki ruang masalah dengan hiasan tatapan datar guru BK didalamnya.  Suasana hening seketika, dan meninggalkan tatapan-tatapan tajam 2 guru BK.

"Duduk!" Perintah Pak Wanto.

 Aku mengikuti perintah guru menyebalkan itu, meski aku membenci tatapannya.

Tatapannya masih mengintaiku, bagai singa yang lama tak makan daging segar.

"Biasa aja kali pak tatapannya, toh akhir-akhir ini saya ga buat onar sama sekali." Ketusku.

"Kamu bisa sopan tidak! Kamu ga sadar apa kamu sudah buat rusuh 2 pemuda ini!" Bentaknya.

"Maaf ye pak, bapak bisa menuduh saya darimana? Saya ga ngapa-ngapain loh pak." Bantahku.

"Lalu bagaimana bisa Renaldi dan Fajar saling melukai dengan kamu sebagai alasannya?" Selidik Pak Wanto.

"Kenal aja kaga gimana mau jadi alesan, becanda mulu deh bapak."

"Kamu terlibat masalah ini sebagai sumber kelakuan mereka berdua!" Tegas pak Wanto.

"Mana buktinya? Bapak aja gapunya bukti yang mengarah ke saya? Keknya bapak sengaja deh nyangkutin saya ke masalah ini."

Plaaakkkk...

"Kurang ajar kamu, berani-beraninya kamu berkata seperti itu mana sopan santunmu? Apa ibumu tidak pernah mengajarimu sopan santun?" Amarah Pak Wanto memuncak setelah menamparku.

"Anjay sakit juga, btw nih ya bapak Wanto yang ibunya sangat-sangat terhormat sehingga mendidik anaknya sampai bisa menuduh orang lain tanpa sebab dikarenakan badgirl. Kalo saya yang salah saya ngaku, seperti biasanya, kalo saya ga salah ngapain saya ngaku? Kan bapak sendiri yang biasa ngurus saya, Hanz, Ken dan Gea. " Aku memincingkan bibirku tanda meremehkan.

 Tanpa permisi, aku pergi dari ruang BK yang didalamnya orang-orang aneh yang sedang menuduhku.

Sakit? Oh tentu, tapi bukan fisikku melainkan batinku. Tapi aku mengenakan topeng kebahagiaan diwajahku.

 Bundaku memang membenciku tapi dia tidak pernah mengajariku kurang ajar.

Entahlah, sebenci apapun bunda padaku aku tidak pernah bisa membencinya, sekalipun sakit yang diberikan bunda terlalu dalam secara fisik maupun mental.

Aku masuk kekelas dengan tampang datar seperti biasa, Gea sudah mengetahui jika aku memiliki masalah.

Gea memilih hanya memandang daripada memulai pembicaraan karena wajahku mengisyaratkan aku tidak mau diganggu.

Aku mengambil dairy dan pen khusus untuk menulis secarik cerita suka maupun duka.

                         ***

Dear dairy...

Jika hati dan pikiran diciptakan untuk meluruskan setiap perbuatan dan perkataan manusia, lalu kenapa masih ada orang yang dengan sengaja menuduh, menyakiti, bahkan merendahkan orang lain.

Apakah mereka tidak bisa berpikir?
  
Kanaya clarissa putri.

Sedih? Marah? Tak terima? Tentu! Bahkan jika boleh aku akan membunuhnya sekarang juga.

Aku sadar, aku bukan remaja baik dan pintar seperti saudara kembarku. Tapi apakah aku pants diperlakukan berbeda dengannya?

Satu do'aku hari ini "Jika aku tidak pantas hidup, jemputlah aku. Jika aku pantas menerima kebahagiaan, berikanlah walaupun sedikit."

 Amarahku memuncak, kulit-kulitku memerah, mataku panas bahkan mulai mengeluarkan airnya, dadaku sesak, bibirku tak mampu berkata-kata lagi, aku kacau.

Gea, Ken dan Hanz memelukku, aku masih kaku akibat menahan emosi. Mereka membisikkan kata-kata penenang tapi telingaku seolah tuli, kata-kata mereka bagai angin yang berhembus tapi terhalang kaca.

Tanganku bergerak melepaskan pelukan mereka perlahan, meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja dengan senyuman.

Aku berdiri, berjalan menuju tembok yang memisahkan kelasku dengan ruang BK tepat ditembok belakang kepala guru BK itu.

Dug..

"Aarggh.." erangku menahan sakit.

Tanganku berdarah, sepertinya beberapa jariku retak. Benar-benar sakit, tapi amarahku sudah terlampiaskan.

Aku masih berdiri disana, air mataku masih menetes tapi bibirku tersenyum puas.

Gea, Ken, dan Hanz panik, mereka mendekatiku berusaha membawaku pergi dari sana. Tapi badanku masih kaku, bahkan aku seperti tidak waras.

Perlahan aku lemas, warna kulitku kembali kuning langsat, senyummu perlahan hilang, dan air mataku mendadak berhenti.

Deg...

KanayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang