"Ayo diambil nomor kursinya," teriak Nathan dari depan kelas. Seketika suasana kelas XII-IPA 2 langsung ricuh saat para siswa mulai rebutan dalam mengambil nomor undian tempat duduk. Ada yang berdoa agar dapat tempat duduk di depan, disebelah gebetan maupun sahabatnya sendiri dan lain sebagainya. Namun berbeda dengan sebagian besar temannya yang memiliki ambisi masing-masing dalam memilih kursi, gadis berambut pendek sebahu yang akrab disapa Mara itu hanya diam saja. Dia tidak terlalu peduli untuk duduk dimana, sehingga cukup dengan undian yang tersisah saja yang akan diambilnya.
Mara mulai melangkahkan kakinya ke meja depan kelas ketika anak-anak yang lain sudah menempati bangku barunya masing-masing. Tangan kanannya masuk kedalam kardus mencari kertas yang masih tertinggal dan segera membuka kertas yang didapatkannya.
"Hmm, nomor 25," gumamnya sambil memutarkan posisi tubuh menghadap belakang sembari menghitung urutan nomor kursi. "Lumayan deh kedua dari belakang dekat jendela, kalau tidur nggak ketahuan."
Begitu sampai di tempat duduknya yang baru Mara segera merebahkan kepalanya keatas meja sembari memejamkan mata. Novel yang baru saja dibelinya kemarin telah memakan banyak waktu dari jatah tidur yang seharusnya, dia sadar bahwa hal itu bukanlah hal yang baik untuk dilakukan oleh seorang anak SMA kelas XII yang sebentar lagi ujian, namun apa mau dikata jika sudah terlanjur tercebur dalam keasyikan membaca novel maka akan susah untuk tersadar.
Tiba-tiba saja Mara mencium bau wangi yang semerbak dan nyaman serta menenangkan diikuti dengan suara tarikan kursi tepat disebelahnya. Mara segera menorehkan kepalanya ke kanan sembari membuka mata.
"Oh, sama kamu toh. Tahan-tahanin ya sama aku sampai 3 bulan ke depan," ucap Raka singkat dan duduk disamping kanan Mara.
Adiraka Wijaya, atau yang biasa dipanggil Raka. Bukanlah orang baru dalam hidup Mara. Mereka sudah sekelas sejak kelas XI, namun jumlah komunikasi yang terjalin diantara keduanya bisa dikatakan sangat minim, bahkan hanya hitungan jari. Saat ini merupakan jarak radius terdekat yang pernah dicapai Mara dan Raka antar satu sama lain.
Tidak ada yang special dari Raka dimata Mara. Wajah lumayan, nilai lumayan, tinggi badan sesuai, popularitas, aktivitas organisasi dan lain-lainnya biasa saja. Namun hari ini ada sesuatu yang berbeda yang kemudian baru disadari oleh Mara. Bau enak itu kembali muncul ketika Raka melepaskan jaket yang dikenakannya dan menggantungkannya dibalik kursi.
"Kamu pakai parfum ya?" tanya Mara penasaran.
"Hah, nggak lah. Aku aja nggak tahan bau parfum. Memang menurut kamu aku tipe cowok yang perhatiin penampilan dengan pakai parfum gitu?"
Mara menatap Raka dari atas sampai bawah dan kembali keatas lagi. "Hmm, ya nggak sih," jawabnya singkat.
.
.
Hari itu adalah hari jum'at yang terik. Sudah seminggu lebih sejak hari pertama Mara duduk dengan Raka. Mara sedang duduk di kelas sendirian sambil memainkan HPnya. Anak-anak yang lain masih pada makan dan bersih-bersih sehabis jam pelajaran olahraga.
Tiba-tiba saja Mara menyium bau wangi yang sangat semerbak dirasa memenuhi seluruh isi ruangan. Mara segera menolehkan kepalanya kearah pintu masuk kelas dan mendapati Raka yang sedang berjalan kearah dirinya. Wajahnya tampak bersih dan segar dengan rambut yang masih lumayan basah.
"Kamu mandi ya?"
Raka menaikkan sebelah alisnya ketika mendengar pertanyaan Mara dan menghentikan tangannya yang sedang membongkar tas. "Iya, terus kenapa?" jawabnya ragu.
"Pakai shampoo atau sabun apa?" Tanya Mara lagi.
"Hah? Apaan sih? Ya sabun dan shampoo biasa lah."