MINDER

599 83 10
                                    


Bagi Jay sekarang, membuat takaran adonan bakso jauh lebih mudah daripada menghadapi mood istrinya yang kayak gelombang radio. Turun naik.

Pagi ini ia melihat wajah Alya tertekuk. Ada apa gerangan? Pasti ada sesuatu. Ia menebak benda yang baru diletakkan di meja itulah biang keroknya.

Sebagai suami ia sudah menasihati agar istrinya itu jangan mudah terpengaruh medsos. Baginya apa yang dipertontonkan medsos itu banyakan kamuflase. Cuma numpang pamer doang. Rata-rata demikian. Itu yang dikatakan Jay, untuk menghibur Alya.

"Kenapa, Yang? Pagi-pagi manyun begitu. Nggak cocok tahu! Cakepmu berkurang sepuluh persen! Bukan kamu saja yang rugi, aku juga rugi yang saban hari menikmati wajahmu tiap inci!" candanya.

Alya buru-buru menggeleng. Tangannya terlihat pura-pura sibuk merapikan meja makan.

Jay ingin mengalah, sejak ia memutuskan jadi pedagang bakso wajah Alya memang sering ia pergoki tak secerah dulu.
Makanya sekali lagi, ia saja yang mengalah mencari seribu macam cara untuk menghiburnya. Salah satunya mencari perbendaharaan kata-kata lucu.

Konon katanya perempuan biarpun dalam ekonomi susah tetap bahagia asal suaminya sabar dan lapang dada punya jiwa seluas samudera. Entah itu teori siapa, tapi Jay berniat tulus mempraktekkannya.

"Gak papa, Bang!"

Yee bilang "gak apa-apa" tapi bukannya langsung mengubah wajah malah nambah manyun, gumam hati Jay. Ia akhirnya cuek. Sibuk kembali ngulenin bakso.

"Bang ... teman-teman kosku waktu kuliah dulu, ngajak meet up. Ketemuan. Bareng keluarga. Menurutmu kita mesti datang nggak ya, Bang?"

Jay menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Alya yang kini mencuci piring meski sambil tertunduk.
Ia mulai bisa menebak kemana alur cerita yang bikin mendung wajah Alya.

"Abang mau kok menemanimu dengan senang hati," tukas Jay.

"Tapi aku malu, Bang."
Alya terdiam sesaat.

"Malu apa minder?" tanya Jay. Tangannya masih beraksi dalam baskom besar itu.

"Dua-duanya. Kami dulu berlima se-angkatan. Kompak banget. Apa-apa bareng. Ngaji bareng bahkan bikin usaha bareng," cerita Alya.

"Iya tahu Abang, kan Abang kakak kelas kamu dan Abang kenal beberapa teman kosmu."

"Temen-temenku pada sukses, Bang. Cuman aku yang begini ...."

"Sst ... sst ...!!!"
Jay perlahan bangkit dari duduknya, mencuci kilat tangannya di wastafel lalu mendekati Alya. Dibawanya sosok itu ke pelukannya. Didekapnya erat tubuh mungil istrinya itu yang sudah ia nikahi sepuluh tahun.

"Alya, dengerin Abang. Nggak baik ngomong gitu. Bagiku kamu tetap Alya yang keren, cakep, dari dulu hingga sekarang. Sukses jadi ibu yang baik buat anak-anak, nggak ada tandingan pokoknya mah!" hibur Jay.

Alya yang gampang meleleh matanya jadi tak kuasa menahan isak. Jay makin mengeratkan dekapannya.

"Aku tahu, kamu malu punya suami kayak Abang yang sekarang kerjanya cuma ngulenin dan jualan bakso. Nggak kayak Dita teman sekamar kosmu yang suaminya anggota dewan, atau temanmu lagi yang suaminya sekarang jadi pejabat pemerintahan, atau siapa ... yang suaminya sering ke luar negeri jadi dosen tamu ...."

Alya makin tersedu.

"Abang juga tahu kamu minder melihat teman-temanmu yang suka ekspos berfoto dengan suami-suaminya yang keren itu, memperlihatkan kemesraan saat liburan di luar negeri dengan senyum tersungging dan tawa merekah ...," goda Jay.

Alya menggosok-gosokkan punggung tangan ke matanya.

"Nggak ... Bang ... nggak."

"Nggak salah!"

AWARD (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang