Arga
Jum'at adalah hari yang benar-benar gue sukai karena jam pelajaran sangat ringan, waktunya longgar dan bisa pulang—ralat, bisa nongkrong dengan cepat. Hari itu gue berangkat sama Bisma, kita temen dari SD karena bersekolah di tempat yang sama juga komplek rumah yang sama tapi gak pernah satu kelas. Gue sengaja minta dia berangkat bareng dan bawa motor, karena serius gue lagi unmood gara-gara berantem 'lagi' sama Fara.
Selama di perjalanan gue benar-benar memikirkan tindakan apa yang tepat untuk menghadapi keegoisan Fara. Apa gue harus mengikuti saran Renitha untuk melepas Fara, lagi pula apa yang Renitha katakan memang benar, gue sama Fara terlalu sering menyakiti satu sama lain. Meskipun rasanya berat karena sudah berjalan sejauh ini, gue gak bisa terus-terusan makan hati juga gak sanggup membayangkan bagaimana kedepannya sama Fara.
Setiap kali ada masalah sepele kita selalu berantem hebat dan ini memang sangat melelahkan untuk terus di perjuangkan, sejak tiga bulan lalu gue berusaha berubah menjadi sosok Arga yang lebih baik tapi Fara melah menjadikan hal itu lelucon.
Padahal gue bilang dan mengajak dia untuk sama-sama berubah menjadi versi terbaik diri kita, tapi dengan kasarnya Fara bilang bahwa gua bukan cowok yang baik dan berubah tidak semudah itu. Kumaha maneh we Far, aing jangar!
Bener-bener gak ngerti kalimat, 'sama-sama berubah', kan rese banget.
Dan, ada sesuatu yang akhir-akhir ini menganggu pikiran gue. Benar-benar mengganggu seperti Fara, tapi dia jelas berbeda, gue sangat nyaman berada di dekat dia namun gadis ini tidak akan pernah berpaling dari satu makhluk.
Ternyata selama di perjalanan gue melamun berat sampai tidak sadar bahwa Bisma sudah memarkirkan motor di parkiran sekolah. Begitu berjalan melewati koridor utama mata gue menangkap seseorang yang akhir-akhir ini membuat gue penasaran.
"Bis, itu yang namanya Pram kan?" tanya gue ke Bisma karena kebetulan mereka berdua itu satu kelas.
Bisma langsung ngikutin arah mata gue dan menjawab, "Iya itu si Pram, kenapa?"
"Dia kan di gosipin sama Renitha."
"Oh itu, emang sih di kelas juga udah kenceng banget gosip nya. Apalagi Renitha sering banget maen ke kelas gue."
"Terus Pram nya gimana?" tanya gue lagi karena kepo.
"Pram? Diem aja dia mah, kayak yang mau di gosipin. Kalau Renitha nya gimana?"
"Everything is just gossip, itu yang selalu Renita bilang."
"Oh, lagian ngapain juga lo ngurusin gosip?"
Dengan tidak minat gue hanya menampilkan cengiran sebagai jawaban dari kalimat terakhir Bisma. Dia memang gak tau kalau gue sebenarnya sahabat lengket sama Renitha, karena kita jarang juga menunjukan kedekatan seperti sahabat di depan orang lain yang berbeda kelas.
Begitu masuk ke dalam kelas gue langsung di suguhkan pemandangan temen-temen yang lagi menyontek, astaga! gue lupa ada remedial matematika yang harus terkumpul pagi ini di meja bu Rosi.
Secepat kilat gue langsung menuju kursi belakang, bergabung dengan teman-teman lain yang sedang menyalin jawaban entah milik siapa, namun tempat duduk yang dipakai untuk menyontek berjamaah itu ialah tempatnya Putra.
Putra yang kebetulan duduk satu baris dengan Renitha, membuat gue harus berjalan melewati gadis itu. Kalian mau tahu dia sedang apa? Dia sedang asik membaca novel. Anak pinter emang beda sih. Pengin banget sesekali liat Renitha remedial, heboh banget pasti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renitha (La Douleur Exquise)
RomantikDi bagian hidup yang mana akhirnya gue bisa sama dia? - Renitha --- Semuanya masih abu-abu, tapi gue gak bisa mengelak, cinta memang ada disana - Dimas --- Kalo dia ngijinin, mungkin gue bakal ambil peran itu di samping nya - Arga ...