-Katanya, jika hujan turun dengan deras kau harus bisa menjaga diri. Karena bersama dengan itu, segala kenanganmu akan muncul tanpa aba-aba-
Renitha
Sore itu gue berdiri di luar kelas menatap rintikan air hujan yang turun ke bumi dengan derasnya hingga menciptakan hawa dingin yang menusuk kulit, itu adalah hujan hari pertama sejak kemarau tiga bulan lamanya. Sebenarnya tidak lama, hanya tiga bulan yang berlalu begitu saja karena seharusnya kemarau berakhir pada bulan depan.
Gue gak sengaja berada di sekolah untuk menatap derasnya air hujan, ini semua karena latihan drama yang molor akibat anggota kelompok yang membagi waktunya dengan ekstrakulikuler, karena mereka adalah pengurus aktif. Meski begitu, untung saja hari ini masih bisa latihan, tidak di undur atau batal seperti sebelumnya. Karena waktu tugas drama ini harus di tampilkan minggu depan.
Lalu entah bagaimana gue malah teringat dengan kejadian saat perpisahan sekolah dasar, cuacanya persis seperti hari ini, hujan dan gelap. Saat itu gue dan teman-teman lainnya dari kelas enam menyanyikan lagu sayonara, lagu yang sangat umum di nyanyikan pada acara wisuda. Biasanya acara kelulusan di laksanakan secara indoor, namun saat itu pihak sekolah memutuskan untuk outdoor dengan alasan suasana baru dan musim kemarau yang sudah datang di bulan Mei. Tapi karena iklim yang tidak menentu, hujan malah turun dengan derasnya, sudah kalian bayangkan, kan? Bagaimana acara akhirnya?
Mungkin karena derasnya air hujan yang turun dan saking asyiknya mengingat kejadian perpisahan itu gue sampai tidak sadar bahwa seseorang sudah berdiri tepat di samping gue dan di kedua tangannya memegang cup kopi yang wanginya menguar menggoda.
"Renitha, nih kopi."
Laki-laki berhidung mancung itu menyerahkan satu cup kopi, gue tersenyum setelah menerimanya.
Orang ini bernama Arga, entah bagaimana kita sudah menjadi sahabat sejak kelas sepuluh.
Arga
Gue berjalan dengan hati-hati karena takut tergelincir habisnya lantai benar-benar licin akibat terkena air hujan, ditambah lagi kedua tangan gue membawa cup kopi yang salah satunya akan gue berikan pada Renitha, seorang sahabat yang suka banget sama kopi aroma kacang.
Kita habis latihan drama tugas Bahasa Indonesia yang akan ditampilkan minggu depan. Dan ini adalah latihan terlama untuk pertama kalinya sejak kelompok terbentuk dua minggu lalu. Biasanya latihan hanya berlangsung sepuluh sampai dua puluh menit, itupun dengan anggota yang tidak lengkap hingga berhasil bikin Renitha mencak-mencak sebagai ketua kelompok terpilih.
Setelah latihan dan istirahat sebentar, gue memilih untuk melipir ke warung belakang sekolah untuk merokok, tapi tiba-tiba hujan turun dengan deras membuat gue berfikir bahwa minum kopi adalah pilihan terbaik. Dan tiba-tibanya lagi, gue ingat kalau Renitha suka kopi jadinya gue menerobos hujan untuk kembali ke kelas.
Gue pikir Renitha lagi sibuk ngoreksi ulang naskah drama atau nonton film keluaran baru di situs ilegal sama temen-temen, gak taunya malah berdiri di depan pintu sambil liatin hujan. Pasti dia lagi ngelamun, hobi banget sih ngelamun gak takut kesambet apa.
Entah apa yang dia lamunkan sampai-sampai tidak mendengar panggilan dari gue untuk ketiga kalinya, akhirnya gue memilih untuk mensejajarkan diri sambil merapat ke sebelahnya. Dan akhirnya ia tersadar sambil menoleh saat gue berkata,
"Renitha, nih kopi." seraya menyodorkan satu cup kopi ke arahnya.
Ekspresi yang pertama muncul dari wajahnya tentu saja kaget dan menjawab, "Eh, elo. Buat gue nih?" tanya nya untuk meyakinkan dan gue pun mengangguk mantap.
"Thanks Ga, tau aja lo apa yang di butuhin kalo lagi ujan." Renitha tersenyum lalu menatap cup kopi ditangannya dan tanpa gue sangka dia langsung menyeruput kopi beraroma kacang tersebut.
"Hati-hati panas!" seru gue.
Tapi sayang kalimat tersebut telat diucapkan, dia lalu mengernyit dan gue jamin lidahnya pasti terbakar.
"Panas, kan? Gak sabaran sih!"
"Bukan," sergahnya. "Ini yang bikin kopi mau renang kali ya, gak ada rasanya, gak manis."
Mendengar ucapan Renitha, gue langsung mencoba kopi yang ada di tangan, dan ternyata apa yang Renitha bilang itu benar. Kopi nya hambar, tidak manis karena terlalu banyak air.
"Beli kopi dimana?"
"Warung bunda."
"Tumben kebanyakan air." Gumam Renitha seraya memperhatikan lagi cup kopi tersebut.
"Bukan bunda yang bikin, tapi anaknya."
"Pantesan." Decak Renitha tapi dia malah meminum kopi itu kembali, dia bilang sih sayang dari pada di buang gitu aja, itung-itung teman hujan.
Yang terjadi selanjutnya adalah kita berdua hanya terdiam memperhatikan air hujan kayak orang bego. Jujur, gue bukan penikmat hujan. Tapi untuk pertama kalinya gue merasa nyaman melihat rintikan air hujan yang turun ke bumi seolah membawa beban besar.
"Lo suka hujan Tha?" Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut gue.
"Enggak, cuma nikmatin aja, sambil ngelamun jadi makin enak."
"Jangan ngelamun terus lah."
Dia hanya memberikan jawaban dengan senyum samarnya, dan hal itu membuat gue lagi-lagi berfikir. Kenapa dia senang sekali melamun? Gak takut kesambet apa.
Untuk diketahui, Renitha itu bukan cewek pendiam yang tidak banyak bicara atau sibuk meratapi kesedihan. Dia ini gadis yang aktif, periang, gokil dan kalau sudah bercanda dia tidak akan berhenti tertawa. Kemudian kalau dia sedang julid, dia selalu berkomentar pedas tanpa di fikirkan terlebih dahulu.
Ah kalian juga harus tahu, dia cerdas, pandai menulis dan jago akting, gue serius. Makanya gue selalu senang kalau dapat tugas kelompok sama dia, seperti tugas drama untuk minggu depan. Dari mulai menyusun konsep, membuat naskah, mengarahkan gaya, itu dilakukan oleh Renitha.
Tapi ya seperti yang gue bilang tadi, kurang nya itu hanya satu. Dia senang melamun apalagi kalau ada sesuatu yang menganggunya, seperti galau karena patah hati, atau ada yang tidak sesuai dengan maunya.
"Lo lagi mikirin Dimas, ya?" tanya gue kemudian sambil membenarkan tatanan rambut.
Dia menoleh tidak suka tapi ekspresinya langsung berubah. "Dahi lo kenapa?" ada nada khawatir di sana.
Gue reflek memegang dahi, "Ah, ini... ke gores," jawab gue sejujurnya.
"Ke gores apa?"
"Luka cinta."
Akhirnya gue memberikan jawaban konyol untuk mengajaknya bercanda agar tertawa. Habisnya dia terlalu serius, dan sumpah kadang melihat ekspresi serius Renitha itu menyeramkan.
Hadiahnya, gue mendapatkan toyoran dari Renitha dan ia mendengus kesal. "Dasar alay lebay." Setelah mengumpak ia lalu berbalik meninggalkan gue ke ruang kelas.
---
cerita ini tuh lebih kayak curhatan masing-masing dari tokohnya, tentang apa yang mereka rasain dan apa yang ada dalam fikiran mereka tuh ditumpahkan dalam cerita ini. karena sejatinya setiap orang emang punya fikiran masing-masing.
terimakasih sudah mau membaca :)
With love, ipijoy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renitha (La Douleur Exquise)
RomanceDi bagian hidup yang mana akhirnya gue bisa sama dia? - Renitha --- Semuanya masih abu-abu, tapi gue gak bisa mengelak, cinta memang ada disana - Dimas --- Kalo dia ngijinin, mungkin gue bakal ambil peran itu di samping nya - Arga ...