"Dimana? Dimana kau? Ayolah aku butuh kau,"
Baru beberapa detik setelah bel sekolahnya berbunyi, Lucy Corade sudah sibuk memasukkan tangannya ke dalam tas sambil mengoceh tidak jelas, mencari-cari sesuatu. Matanya dengan tajam melihat celah-celah tas Jansport warna putihnya itu. Ia merogoh semua celah yang ada dalam tasnya dan hasilnya sama saja. Barang yang ia cari itu tidak ada disana.
Jane yang sedang memutar kunci lokernya mengerutkan kening. "Kau sedang mencari apa?" Tanyanya heran ketika melihat Lucy yang sibuk sendiri mengaduk-aduk isi dalam tasnya.
Lucy mendengus. "Kunci lokerku." Sahutnya sambil menunduk, masih mengaduk-aduk isi tasnya, mencoba mencari kunci loker yang ia percaya berada di dalam tasnya.
Tangan Jane masuk ke dalam lokernya, mencari buku sejarah yang ia perlukan. "Tidak ada di dalam tasmu? Mungkin tertinggal dirumah?"
Tangan Lucy berhenti bergerak di dalam tasnya. Setelah berpikir beberapa saat, ia menepuk keningnya dengan tangan kanannya. "Astaga!" Lucy berseru ketika ia ingat bahwa ia belum memasukkan kunci lokernya ke dalam tas. Ia benar-benar lupa tentang kunci loker.
Meninggalkan kunci loker pada hari pertama kembali ke sekolah, kerja bagus Lucy. Gerutu Lucy pada dirinya sendiri.
"Aku baru ingat bahwa aku belum memasukkan kunci loker ke dalam tas pagi ini," Lucy merapatkan resleting tasnya. "Pasti benda itu berada di suatu tempat di meja belajarku." Lanjutnya, lalu menyandarkan tubuhnya pada barisan loker miliknya.
Jane menutup pintu loker setelah ia mengambil buku sejarah untuk kelas pertamanya. Ia menaruh buku itu di depan dadanya, kemudian menatap Lucy dengan tatapan lelah. "Kau sungguh ceroboh, Lucy." Ucap Jane lalu menggelengkan kepalanya pelan.
Lucy menyibakkan poninya ke belakang, hal yang selalu ia lakukan jika ia sedang gugup. "Aku rasa aku akan meminta kunci duplikat loker milikku pada Mr. Wade," Ucapnya ragu-ragu.
Apa ia siap menerima ocehan dari Mr.Wade? Penjaga kunci loker di sekolahnya yang paling benci dengan murid pelupa; yang melupakan kunci lokernya.
Lucy tiba-tiba meringis ketika ia teringat bahwa beberapa bulan lalu ia pernah memergoki Mr.Wade yang sedang memarahi anak laki-laki, salah satu pemain basket di sekolah hanya karena ia lupa membawa kunci lokernya untuk yang kedua kalinya. Mr.Wade malah sampai mengancam akan mematahkan kunci duplikat milik anak lelaki malang itu jika ia sampai lupa membawa kunci asli lokernya. Lucy bergidik ngeri ketika membayangkan wajah Mr.Wade yang memerah bagai dilalap api amarah hanya karena hal itu.
Apa ia benar-benar berani menghadapi Mr.Wade? Lucy berpikir lagi. Tapi ia baru pertama kali lupa membawa kunci lokernya, bukan kedua kali. Jadi Mr.Wade tidak akan menjadi semarah itu dengannya bukan?
Lucy menghela napas, ia hanya memiliki dua pilihan.
Pertama, meminta kunci duplikat pada Mr.Wade dan telat masuk ke dalam kelas Mrs. Kim.
Yang kedua, tidak meminta kunci duplikat lokernya pada Mr.Wade. Jadi, dengan begitu ia tidak akan bisa mengambil buku-buku miliknya dan tidak menghadiri semua kelas pada hari ini.
Ini kasusnya sama. Maksud Lucy, Mr.Wade dan Mrs.Kim sama-sama terkenal dengan mulutnya yang suka mengoceh dan memarahi murid-murid yang melanggar peraturan sekolah, jadi apa pun pilihan yang ia ambil ia tetap harus menghadapi salah satu dari mereka.
Lucy menimbang-nimbang, mencoba meyakinkan dirinya untuk memilih pilihan pertama. Lebih baik ia harus berhadapan dengan Mr. Wade dari pada ia harus bolos di hari pertama kembali ke sekolah, apalagi pada kelas Mrs.Kim. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan disiapkan oleh Mrs.Kim esok hari jika ia bolos di kelasnya pada hari pertama kembali ke sekolah.
YOU ARE READING
i n d e c i s i v e
ChickLitthey said you'll never get over your first love. so what would you do if your first love break you?