Episode #1 BANCI DESA

131 6 1
                                    

Malam itu, ribuan jiwa berdiam didalam gelap.
Mengisyaratkan satu doa.
"Tuhan, Tidak Adakah Bahagia yang Tersisa?"












Episode #1

BANCI DESA

Namaku Pradi, umurku 10 tahun.
Di desaku, mungkin aku satu-satunya anak laki-laki paling berbeda.
Aku tidak kuat seperti anak laki-laki lain, aku tidak suka berkumpul Bersama mereka, mereka mainnya kasar, kotor, dan berisik.
Aku lebih suka bermain Bersama anak-anak perempuan. Mereka lembut, lebih menghargaiku sebagai teman, dan yang paling penting, permainan yang sering mereka lakukan semuanya seru.
Ketika aku bermain Bersama anak-anak perempuan seusiaku dihalaman rumah Eti, anak laki-laki sering datang menghampiri kami, mengganggu kami, jelas yang paling menjadi peran utama didalam hinaan mereka, adalah aku.
"PRADI BANCI KALENGGG..PRADI BANCI KALENGGG..."
Kata-kata yang sering aku dengar setiap hari.
Sakit hati? Sakit sekali.
Aku bahkan sering menangis ketika mereka mulai menghinaku. Aku bisa mendengar Anak-anak perempuan mencoba melawan mereka dan menyuruh untuk pergi.

Didalam tangisanku, aku selalu sadar aku berbeda. Dikampung yang kecil ini, aku tentu satu-satunya anak laki-laki yang aneh. Anak laki-laki yang seperti perempuan. Benar-benar tidak normal.

Aku sadar semua orang dikampung ini tahu aku seperti ini. mereka suka melirikku ketika aku bermain, suka bercanda didepanku dengan kata-kata yang menyakitkan hati. Aku suka berfikir mungkin kedua orang tuaku juga tahu aku seperti ini, namun mereka hanya diam. Bagaimanapun, aku adalah anak satu-satunya yang mereka miliki.
Bagaimana kalau suatu hari nanti aku punya adik.
Satu adik atau dua adik nantinya.
Apakah ibu dan ayah akan perlahan tidak peduli terhadapku lagi?
Apakah mereka akan diam-diam mengangkatku ketika aku tidur lalu membuangku ketempat sampah?
Apakah mereka akan menjualku dipasar?
Atau apakah mereka akan memberiku minum yang diisi racun agar aku mati?
Ada banyak sekali pikiran yang menghantui anak 10 tahun sepertiku.
Orang-orang yang hanya mengerti perasaanku adalah para sahabatku. Eti dan Endang.

Saat sudah pulang sekolah, sehabis ganti baju dan sarapan, Endang biasanya menghampiriku.
"pradiiii...pradiiii...main yuk..."
Aku langsung berlari keluar rumah begitu Endang memanggil. Suaranya cempreng, jadi bisa terdengar sampai belakang rumah. Sepertinya dia bisa menjatuhkan maling dalam sekali teriakan.
Setelah itu, kami berjalan menuju rumah Eti. Di sebelah rumah Eti, terlihat Eko Bersama temannya lagi ngobrol. Eko adalah tetangga Eti, dia duduk dibangku SMA Kelas 3.

Eko dan temannya melihatku dan endang berjalan melewati rumahnya. Mereka berdua melihat kami, lebih tepatnya melihat kearah ku.
Teman Eko yang tidak kutahu Namanya, tiba-tiba saja nyengir kearah ku.
"Eyyy... pradi, aww cucok.." ujar temannya si Eko kepadaku kemudian diikuti gelak tawa mereka.
Endang hanya memperhatikan wajahku, aku tahu dia sahabat yang peduli dan aku tahu dia tidak bisa berbuat banyak.
Aku hanya menatap mereka berdua sembari berjalan. Teman si Eko masih saja tertawa, sementara Eko melihat tajam kearahku, tatapannya begitu misterius sampai aku tidak bisa membayangkan hal jahat apa yang ada diimajinasinya saat ini.
Dari semua warga yang melihat aneh kapadaku, aku rasa Eko memenangkan kategori tatapan terseram. Dalam bayanganku, aku hanya ingin lari darinya.

Kami biasanya bermain dirumah Eti, karena rumah Eti punya halaman yang lebih luas. Saat kami bermain, aku biasanya meyadari jika Eko terkadang memperhatikanku dari jauh, tapi aku pura-pura tidak melihatnya. Aku tidak ingin mencari masalah dengannya. Tatapannya, seakan aku pernah berbuat salah kepadanya. Padahal, menegur sekalipun aku tidak pernah.
Sampai didepan rumah Eti, Ibu Eti yang sedang menjemur pakaian langsung sumringah melihat kami. Ibu Eti sangat baik dan perhatian. Aku dan endang tidak pernah sekalipun melewatkan senyumannya saat kami datang kerumah Eti.
"Etiii... ini ada Pradi sama Endang."
Eti pun keluar rumah dan menghampiri kami.
Hari ini kami memutuskan untuk bermain ditempat lain, ada sebuah tanah luas yang dikelilingi oleh pohon-pohon bambu yang besar. Kadang aku melihat pohon bambu itu, menatapnya cukup lama sampai aku merinding. Entah kenapa aku merinding, apakah memang karena pohon itu terlalu besar dan lebat.
Kami bertiga bermain lompat tali disana. Eti dan Endang memegang kedua ujung tali sedangkan aku yang melompat ditengah. Untuk urusan lompat tali, aku memang paling jago. Meskipun aku memiliki sifat yang seperti anak perempuan, bukan berarti jiwa anak laki-lakiku hilang semua. Bahkan aku sama sekali belum pernah kalah dalam permainan ini.
Selanjutnya, kami memutuskan untuk bermain petak umpet. Mungkin Eti dan Endang bosan karena melihatku selalu menang dalam permainan lompat tali. Tapi kali ini Eti yang harus jaga.
Eti melipat kedua tangannya dipohon dan memejamkan mata, ia pun mulai mengitung dari satu sampai dengan sepuluh. Aku dan Endang mulai berlari.
Endang sudah mulai menghilang, aku sama sekali tidak melihat dia bersembunyi disebelah mana. Yang aku pikirkan adalah terus berlari sampai menemukan tempat yang tepat.
Aku berlari kecil menyusuri kebun ubi, mencari tempat persembunyian. Aku mencoba berbelok dan tiba-tiba aku menabrak sesuatu didepanku sampai aku terjatuh. Aku membuka mataku karena aku sangat terkejut bukan main dan aku melihat Eko ada di depanku, lengkap dengan tatapannya yang mengerikan.
Ketika aku mencoba untuk berdiri, Eko langsung mendorong Pundakku sampai aku terjatuh lagi. Aku mencoba untuk berdiri lagi namun Eko kembali mendorongku sampai aku terjatuh lagi. Tiba-tiba Eko menginjak kelaminku dengan perlahan dan menatapku dengan tajam. Tentu saja aku kesakitan, ingin sekali aku berteriak namun tidak bisa karena menahan rasa sakit.
"banci kaleng! Kamu itu laki-laki bukan perempuan! Desa ini tidak menerima banci seperti kamu, kamu tahu itu?" ujar Eko.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk memohon agar Eko menyingkirkan kakinya dari atas kelaminku, tapi Eko malah semakin mempereratnya.
"kenapa? Sakit? Kamu kan banci, ini tuh buang aja." Ujarnya lagi sambil mempererat injakannya.
Air mataku mulai jatuh, aku seperti merasa akan mati hari ini.
Eko mulai tertawa jahat ketika melihat aku menangis. Wajahnya menggambarkan jika ia sangat puas menyakitiku. Menyakiti aku yang ia pikir orang paling aneh didesa ini. seperti dia lah manusia paling sempurna didesa ini dan berhak untuk menindas orang-orang yang ia anggap tidak sempurna dimata dia.
Eko mulai melepaskan injakannya dan mulai pergi. Sebelum ia pergi ia membuang ludah kearahku yang masih tiduran diatas tanah. Ludahnya mengenai bajuku dan perasaan sakitnya mengenai hatiku. Air mataku tidak berhenti keluar.
Aku berjalan menghampiri Endang dan Eti yang seperti bingung aku menghilang kemana. Eti melihatku dan langsung menghampiriku.
"Pradi, kamu dari mana saja?"
Aku menggelengkan kepala sambil menahan tangis.
"baju kamu kotor banget, mata kamu merah, kamu habis nangis ya?"
"tidak kok." Ujarku.
"tapi baju kamu kotor sekali, kamu habis jatuh?" tanya endang.
"iya aku habis jatuh."
Eti dan Endang pun terdiam ketika mendengar jawabanku, seakan mereka sudah lega mengetahui alas an kenapa aku muncul dengan baju kotor dan wajah yang bengkak karena menangis terlalu banyak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tuhan, Tidak Adakah Bahagia yang Tersisa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang