Dari kecil hingga sampai saat ini, Epiphania hanya dekat dengan tiga orang. Kedua orang tuanya dan Jovan, sahabat baiknya.
Karena rumah mereka bersebelahan, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Mulai belajar bersepeda, mengerjakan pekerjaan rumah, sampai mandi bersama.
Ya, walau memalukan tapi Epiphania pernah mandi bersama Jovan saat berumur tiga bahkan sampai enam tahun.
Mereka sudah seperti saudara tanpa ikatan darah. Semua yang terjadi di kehidupan Epiphania pasti diketahui oleh Jovan.
Jovan akan melindunginya saat orang lain mengucilkannya. Jovan akan menghiburnya saat ia merasa sedih. Jovan sudah seperti kakak laki-laki yang tidak pernah ia punya.
Hanya saja saat memasuki usia dua belas tahun, Epiphania mulai merasakan perasaan yang asing yang membuatnya tidak nyaman.
Gadis itu merasa Jovan berubah menjadi sosok laki-laki di matanya, bukan hanya teman masa kecil. Ia sadar ketika jantungnya berdebar saat melihat senyum pemuda itu.
Saat Jovan berdekatan dengan perempuan lain, Epiphania akan merasa sedih dan membanding-bandingkan dirinya dengan perempuan tersebut.
Perasaannya terus mengembang pesat hingga saat ini. Segalanya sudah berubah bagi Epiphania walau mungkin Jovan tidak merasakan perasaan apa pun. Seperti saat ini, Jovan masuk ke kamarnya untuk membangunkan dirinya seperti pagi-pagi sebelumnya.
"Fani, bangun. Udah jam tujuh nih, aku gak mau kita telat lagi!" seru Jovan sambil mengguncang tubuh gadis itu atau sesekali mencubit lengannya dengan pelan.
"Jovan berisik! Aku masih ngantuk." Epiphania hanya bergumam lalu berusaha menghindari tangan sahabatnya yang terasa menggangu.
Jovan berdecak kesal. Setiap pagi ia harus melewati cobaan membangunkan Si Putri Tidur satu ini. "Bangun atau aku tinggal. Kamu mau berangkat pakai sepeda?" ancam pemuda itu sambil menyeringai.
Sontak saja Epiphania langsung membuka matanya dengan kesal. "Curang! Kalau aku boleh naik mobil sendiri juga aku nggak mau ikut kamu," rajuk gadis itu kesal walau sebenarnya ia setengah berbohong.
Tentu saja Epiphania sebenarnya senang bisa berangkat dan pulang bersama Jovan. Bahkan ketika orang tuanya menawari dirinya mobil saat usianya memasuki umur tujuh belas, Epiphania menolak dengan alasan takut menyetir sendiri.
"Kamu harusnya merasa terhormat bisa semobil sama cowok paling Most Wanted di sekolah," pamer Jovan sambil menaik-naikan alisnya. Lalu terbahak saat Epiphania mencibir dan mengutuk dirinya.
"Udah cepet mandi. Aku harus jemput Niesha juga abis ini." Jovan menarik tangan sahabatnya lalu merapikan rambut gadis itu.
Rasanya Epiphania gatal ingin bertanya siapa Niesha, namun ia hanya bisa menelan rasa penasarannya bulat-bulat. Ia tidak seberani itu untuk patah hati ketika mendengar jawaban Jovan nanti.
"Ngomong-ngomong, kamu gak boleh masuk kamar cewek sembarang, Van. Privasi!"
Jovan menatap Epiphania dengan geli. "Kamar cewek mana yang berantakan gini, Fan? Kayaknya kamar aku lebih rapi deh," ledeknya.
"Lagian kamu kan udah kayak adik kecil, harusnya gak masalah kan?"
Sebenarnya jelas hal ini menjadi masalah karena Epiphania semakin merasa tidak bisa mengontrol perasaannya. Apalagi ketika ia duduk berhadapan dengan pria yang disukainya di atas tempat tidur.
Masalah besar bagi jantung dan hatinya.
***
"Hai, Jovan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Friend ✔️
RomanceOneshoot story. Highest rank : #9 in CeritaPendek (1 Oktober 2019)