Prolog

176 13 2
                                    

Dua orang wanita itu telah berkelahi selama tiga hari tiga malam tanpa berhenti. Keduanya lelah, lapar, dan kehausan, darah segar terus mengalir dari setiap sudut tubuh mereka yang terluka, tapi tidak ada satupun dari mereka yang ingin berhenti. Terus melanjutkan aksi. Satunya memegang kendali petir, yang satunya lagi memegang kendali pelangi.

Bayangkan saja petir dan pelangi beradu. Apa yang akan terjadi? Di benak kalian pasti petirlah yang menang. Pada kenyataannya keduanya imbang.

"Kau melawan hukum alam, Orang tua." Seru seseorang

"Kau! Kau lebih tua dariku. Dasar orang tua tak tahu diri!." Bantah orang yang memegang kendali pelangi "..Lalu apa? Kau pikir kami ini apa, huh?!" Lanjutnya.

"kalian hanyalah perusak hukum alam! Aku akan membuat keturunanmu berpencar dan menghancurkan kampung sialan itu!." Ucap orang yang memegang kendali petir dengan penuh amarah.

"Lakukan saja sesukamu." Balasnya sambil tersenyum miring

"Kau tidak ingin membalasku?"

"Untuk apa?" Jawab wanita muda remeh.

"Lebih baik ku musnahkan saja kau!"
Ia mengambil ancang-ancang, dengan seluruh kekuatan petir ia Kumpulkan lalu melemparkan cahaya kilat itu ke Wanita yang lebih muda darinya.

Hampir saja cahaya kilat itu menebasnya, dengan sigap Wanita muda itu membuat perisai dari cahaya berwarna-warni untuk melindungi dirinya. Ia menahannya. Tidak ada serangan balik, Ia terlalu lelah untuk membalas. Perisainya mulai retak. Kali ini
Ia mulai panik.

Dalam sisa-sisa perlindungan dirinya ia mengucapkan ikrar.

"Aku akan membiarkan kampungku hancur dan keturunanku berpencar. Aku tidak melawan hukum alam, karena para dewi telah mengizinkanku untuk mendapatkan yang lebih sebab ilmu pengetahuanku.

Suatu saat nanti, aku akan panggil keturunanku untuk memperbaiki kampungku, dan menjadi penguasa negeri. Perang akan menghantui mereka, mereka akan menang jika keturunanku, dalam dirinya mengalir darahku. Dia hebat lebih dariku. Ia akan datang memperbaiki semuanya dan menyelamatkanku. Setelah itu aku akan mati dengan damai.

Perisai itu pecah dan cahaya kilat itu menusuk dada kanannya. Ia terbaring lemas, napasnya terengah-engah, ia sudah tidak kuat.

Aku menunggumu. — batinnya sebelum akhirnya ia menutup mata.

Gelak tawa bergema dibarengi bunyi petir yang menggelegar. Ia menatap lawannya terbaring mati di bawah sana. Satu kakinya menginjak kepala lawanya itu.

"Giliran kampung juga keturunanmu, Reany." Ia tertawa puas penuh kemenangan. Kemenangan sepenuhnya berada di tangannya.

The Sorcerer - Podrostok Magatech RubyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang