Tidak ada yang tahu berapa kali langit berganti musim
Di pelupuk ini mungkin akan tetap sama
Bermusim dua di langit hati berbeda
Mendung-mendung bergelantungan menyimpan dingin dan rinai
Mereka sebagai memori yang membawa rindu
Bersama langkahku yang terbirit-birit untuk mendekapnya; jauh darimu
Langit mendung hati yang patah-patah adalah perpisahan kelabu dengan awan putih
Bersiap mencabik-cabik senyum dari pelangi mana pun
Hingga mata bulat bercucuran luka jelma air mata
Sama seperti sebelum sayapku patah dan tinggi walau tidak bisa terbang
Atau sakit berdarah-darah di saat dirimu belajar lupa aku
Sampai pada nadir aku tidak boleh pergi ke khayangan, apalagi merindui anak dewa
Tidak apa, nanti aku akan mencintaimu lagi--entah kapan
Dari kisah sampai lara, mendung yang dibawa angin patahnya sayapku
Menyampaikan risalah dari kepak yang patah
Bahwa aku tidak bisa terbang tinggi lagi, bahkan sudah terjatuh dan tidak ingin bangun
Sakitnya sudah lekat dan dipahat--mungkin--terlalu dalam di dasar sana
Tidak apa, karena setiap sakit adalah ingatanku menduamu
Membuat kita terseok-seok berlari dari langit hati kelabu
Kepada hujan yang akan menggerimisi pelupuk mataku dari mendung
Aku akan diam-diam berpaling ke barat, tempat matahari terbenam itu; sepi
Tidak akan ada seorang pun melihat basahnya atau mendengar rintik hujan yang terjatuh
Bahkan aku bisa meraung-raung tanpa harus sembunyikan sisa sayap patah di punggungku
Tidak apa, karena aku telah berdamai dengan bilah sayap terluka
Hujan-hujan di pelupuk mata...
Ternyata miris lebih dari yang aku duga
Setiap bening yang bergulir adalah keegoisan yang menikahi dua muara
Ada juga yang bertatih menyimpan rasa cinta yang kemudian tidak bersemi sempurna;
karena aku bunuh dengan logika yang merajam hati
Lainnya adalah sisa-sisa kasih sayang, kebahagiaan, kesetiaan, pengkhianatan, dan penyesalan
Hujan-hujan di pelupuk mata itu
Hanya jari-jari semu yang menyekanya
Palembang, 27 Juli 2012
Disunting kembali 6 Oktober 2012 Oleh Endah W. Sucy