1. Aroma Bunga (Adilah)

410 14 2
                                    

Semerbak bunga meninggalkan kesan tak terlupakan, harumnya menyenangkan, baunya menyebalkan.

−Elis Sri W

========

Tetesan embun yang membasahi dedaunan perlahan lenyap terguyur kucuran air keran. Aroma bunga geranium, mawar, lili, dan begonia mawar menguar di udara. Begitu harum menyegarkan. Kupandangi bunga-bunga yang bermekaran penuh kekaguman. Mahasuci Allah menciptakan segala keindahan di muka bumi ini. Sudah seharusnya manusia merawat ciptaan-Nya. Selain mempercantik lingkungan, tanaman hias mampu mengurangi polusi udara.

"Alangkah indahnya taman rumah kita, kalau dihiasi bunga anggrek. Teman satu pengajian Ummi mengoleksi beragam jenis anggrek, lo Neng, di rumahnya. Pesona anggrek sungguh mengagumkan," ucap wanita paruh baya yang duduk di teras depan, berjarak sekitar lima langkah dari taman.

Aku bergeming, meski sadar panggilan 'Neng' ditujukan padaku. Dari dulu, aku tidak pernah tergiur mengoleksi bunga anggrek yang terkenal mudah layu. Walau penampakannya memesona, tetapi menurut keterangan artikel dan para pengoleksinya cara merawatnya susah-susah gampang. Namun, tidak ada salahnya juga aku mencoba.

Aku mengempaskan tubuh ke kursi kosong sebelah Teh Aliyah. Kakak perempuanku itu duduk melipatkan kaki, sebelah tangannya meraih teh manis yang masih mengepulkan asap, lalu menyesapnya tanpa memalingkan pandangan dari buku tebal yang dia pegang. Sok sibuk, masih saja membaca buku di akhir pekan. Dasar, dosen muda!

Pandanganku beralih ke arah wanita paruh baya yang tampak menantikan jawaban. Jika aku mengamati dari jarak dekat, kerutan di wajah Ummi mulai bermunculan. Namun, Ummi tetap terlihat cantik dengan balutan jilbab panjangnya. "Ya udah, Mi. Nanti selepas sarapan, aku langsung berangkat ke kios langganan. Udah lama juga nggak ke sana."

Senyum Ummi merekah penuh ketulusan, menghangatkan hatiku. "Iya. Ummi serahkan sama kamu aja, Neng. Apalagi putri bungsu Ummi ini mahasiswa pertanian, tentu pandai memilih tanaman berkualitas, seperti sebelumnya."

Aku mengangguk.

Aku menikmati pisang goreng hangat buatan Ummi. Teh Aliyah tetap membaca buku. Sementara Abi sejak tadi fokus membaca koran, hingga mengabaikan kopi dan pisang goreng yang Ummi sajikan untuknya.

"Yang satu sibuk baca buku. Satunya lagi baca koran, sampai lupa sarapan," gerutu Ummi seraya menggeleng. Nada bicara Ummi terdengar jengkel, mungkin bosan dengan kebiasaan Abi dan Teh Aliyah yang suka membaca saat pagi hari. Alasannya, suasana otak masih fresh, jadi mudah menyerap materi. Menurutku masuk akal, tetapi tidak perlu meninggalkan sarapan juga.

Teh Aliyah menutup buku, seketika menyimpannya di atas meja. "Iya deh, besok-besok Teteh nggak bakal baca buku lagi pas sarapan."

Abi membenarkan letak kacamata sambil tersenyum, lalu membuka halaman berikutnya seolah sengaja memancing kejengkelan Ummi. "Bilang aja Ummi cemburu sama koran karena Abi lebih sering memperhatikan koran daripada Ummi. Iya, kan?"

Ummi menyuapi Abi dengan pisang goreng tanpa menanggapi pertanyaan barusan. Abi melahap secepat kilat. Lantas, Abi menatap Ummi seraya bergumam, "Masyaallah, pisang goreng buatan bidadari Abi enak sekali. Mulai besok, baca korannya selesai sarapan aja, ah. Biar Abi fokus menikmati menu sarapan favorite ala chef Ummi Naila Marwah."

Ummi menyikut lengan Abi. Abi hanya tertawa. Pupil mata Ummi melebar, melirik aku dan Teh Aliyah bergantian. Aku diam-diam tersenyum, menyaksikan pemandangan mengagumkan. Usia mereka terbilang tidak muda lagi, tetapi masih sangat mesra. Perhatian Ummi kepada Abi tidak pernah berubah sejak aku masih kecil. Abi pun tidak segan memuji Ummi di hadapan anak-anaknya. Uhhh... aku berharap suatu saat nanti, memiliki suami seperti Abi, selalu memuliakan istrinya dengan pujian sederhana. Kapan ya, aku menemukan cinta sejati?

Pupuk Cinta Orchidaceae (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now