2. Ketika Hati Bereaksi (Adilah)

60 5 0
                                    

Getaran cinta tak terdengar siapa pun, hanya dapat dirasakan oleh hati yang tengah berbunga-bunga.

−Elis Sri W

========

Aku sulit berkonsentrasi selama Pak Rizal menjelaskan materi di depan kelas. Kepalaku pusing, tubuh menggigil, dan irama jantung tak beraturan. Aku menurunkan kepala perlahan, membenamkan wajah di meja. Suara ketukan cukup keras menggetarkan meja. Aku sontak mengangkat kepala, gelagapan, saat Pak Rizal menatap tajam seraya menunjuk pintu.

"Keluar! Jangan kembali sebelum rasa kantukmu hilang."

Aku menghela napas berat, enggan menuruti perintah Pak Rizal. "Tapi Pak—"

"Sekarang juga, cepat keluar!" potong Pak Rizal dengan nada tinggi.

Aku tersentak, tak berani membantah lagi. Lantas, aku bangkit dari duduk sambil memegang kening. Saat melangkah, kaki seolah tak lagi menyentuh lantai, kedua tangan melayang mencari pegangan. Aku mencengkeram bahu seseorang yang menangkapku. Wajahnya samar-samar. Seketika dunia tampak menghitam, hingga aku hilang kesadaran.

***

Aku mencium aroma terapi dalam keadaan terpejam. Walau kepalaku masih pusing, aku memaksakan membuka mata secara perlahan. Langit-langit berwarna putih muncul di retinaku. Pandanganku bergeser ke sudut kanan ruangan yang berdekatan dengan pintu, poster paru-paru seorang perokok terpajang di temboknya, dan lemari P3K berdiri tidak jauh dari poster itu. Apa yang terjadi padaku?

"Syukurlah, akhirnya kamu sadar juga," ucap wanita berjas putih, khas petugas kesehatan yang berdiri di samping kanan brankar. Dia mengulas senyum ramah. "Bagaimana kepalamu, masih pusing?"

"Sedikit." Aku memegang kepala sambil mendesah. Berarti aku pingsan di kelas makanya dilarikan ke sini. Kepalaku benar-benar pusing ketika hendak meninggalkan kelas, aku hampir terjatuh kalau saja tidak ada seseorang yang menangkap. Setelahnya, aku tidak mengingat apa pun lagi.

"Apa kamu merasakan sesak napas atau sakit punggung?"

Aku menggeleng pelan.

Perawat mengatakan bahwa tensi darah rendah menjadi salah satu pemicu pingsanku. Dia membantuku duduk, menempatkan kepala di antara kedua lutut. Lantas, dia memberiku jus alpukat. Kata dia, jus diperlukan bagi orang yang belum makan lebih dari enam jam. Aku memang tidak sempat sarapan dan belum makan siang akibat terlalu sibuk mencari buku di perpustakaan untuk menambah referensi bahan skripsi. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 14:18, perutku kosong lebih dari enam jam. Astagfirullah, betapa lalainya diriku terhadap kesehatan. Aku segera meminum jus secukupnya.

Aku baru menyadari keberadaan Teh Aliyah. Dia terdiam kaku, tidak mengeluarkan sepatah kata untuk sekadar menanyakan kondisiku. Aneh sekali. Sosok di sebelah Teh Aliyah membuatku terkejut, Pak Rizal. Aku sontak mengecek jilbab, untunglah masih terpasang meski agak longgar.

Pak Rizal tersenyum seraya mengembuskan napas panjang. Dia mengusap wajah, mengucap syukur. "Maaf, saya udah lancang menggendong kamu karena terlalu panik. Maaf juga, saya menyuruh kamu keluar kelas tanpa tahu kondisi sesungguhnya."

Aku mengangguk.

Perawat cantik mengulurkan tangan ke arahku. Dia tersenyum, lesung pipi menjadikannya semakin manis, persis Pak Rizal. "Oh, iya, aku Rizka—adik Aa Rizal."

Aku menyambut uluran tangan dia, mengucapkan namaku, lirih. Wajar saja Rizka mirip Pak Rizal, orang dia adiknya. Kakak beradik selalu memiliki kemiripan. Banyak yang bilang aku mirip Teh Aliyah, entah dari segi apa, padahal Teh Aliyah jauh lebih cantik. Dia pandai merias wajah, kulitnya putih glowing. Sementara aku malas berurusan dengan skin care, merias wajah hanya untuk menghadiri acara tertentu. Ajaib, kan?

Pupuk Cinta Orchidaceae (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now