3. Obat Penawar Asmara (Adilah)

71 4 0
                                    

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian atau pengorbanan.

—Salim A. Fillah

=======

Teh Aliyah berulang kali berganti saluran televisi sambil menggerutu, tidak ada tayangan menarik. Dia menekan tombol merah seketika layar benda kotak itu menghitam tak bergambar. Bagiku akhir pekan ini membosankan, berbeda dengan minggu-minggu sebelumnya yang penuh canda tawa. Sudah satu minggu kami jarang berkomunikasi, hanya bicara seperlunya saat di hadapan Abi dan Ummi.

Aku merebut remote dari tangan Teh Aliyah kemudian menghidupkan televisi kembali. "Sebentar lagi, drama Korea kesukaanku tayang. Jangan dipindahkan, apalagi dimatikan."

Teh Aliyah berdecak seraya melotot. "Pantas aja wawasanmu dangkal, setiap hari menonton film nggak berbobot."

Aku menggertakkan gigi lalu melemparkan remote ke atas meja. Perkataannya membuatku gemas, padahal dari dulu dia tidak pernah mempermasalahkan selera tontonanku, tetapi hari ini malah terkesan menghina. "Teteh kenapa, sih? Sekarang jadi menyebalkan begini?" Aku menarik napas perlahan. Mungkin ini waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah. "Apa karena Pak Rizal?"

Teh Aliyah bergeming.

Aku memutar tubuh menghadap televisi, duduk menyampingi dia. "Aku udah bisa menebaknya."

"Menebak apa?" tanya Teh Aliyah dengan nada dingin.

Aku menoleh seraya menampakkan barisan gigi. Tanganku menarik kedua pojok bibir Teh Aliyah hingga melebar. Aku merindukan senyuman dia, seperti biasa. "Cieee ... penasaran, ya?"

Teh Aliyah menepis tanganku. Dia melemparkan bantal berbentuk hati, aku sigap menangkisnya. "Bisa nggak, sih? Bersikap lebih dewasa, jangan kekanak-kanakan!"

"Teteh nggak kesambet, kan?" Aku memegang kening dia, namun tidak panas. Menurutku, suhunya normal.

Dia menggeram. "Berhenti, Adilah! Nggak semua hal bisa dijadikan gurauan."

Aku mengembuskan napas berat. Gagal memancing Teh Aliyah tersenyum, justru membuat dia semakin kesal. "Teteh cemburu sama aku sampai bersikap kayak gini. Apa Teteh menyimpan perasaan kepada Pak Rizal?"

Dia tersenyum simpul. "Harusnya kamu mengerti. Buat apa Teteh sering menyanjung dia kalau nggak mencintainya. Hargai perasaan Teteh! Teteh nggak suka, Pak Rizal sangat memperhatikanmu waktu pingsan. Apalagi sampai menceritakanmu kepada adiknya, Teteh gerah mendengar semua itu."

Aku mendesah kecewa. Wanita mana yang tidak tertarik pada sosok pria tampan, mapan, cerdas, dan Insyaallah saleh? Aku gagal menolak perasaan kagum yang menyerang hati ini. Aku wanita normal, apakah salah mengagumi Pak Rizal, bahkan berharap lebih padanya?

Teh Aliyah berdiri serentak, mendengar bel beberapa kali berbunyi.

Aku langsung berdiri lalu menarik lengannya. "Biar aku aja Teh, yang membuka pintu."

"Nggak usah." Dia menabrak bahuku seraya berlalu.

***

Pria berlesung pipi mengikuti langkah Teh Aliyah. Wajahnya semakin jelas seiring langkah dia yang mendekat. Aku mengucek mata untuk memastikan kebenaran. Retinaku tidak salah menangkap gambar, dia benar-benar hadir di sini. Ada urusan apa dia ke rumahku?

Teh Aliyah mempersilakan dia duduk, tepat di ruang keluarga yang juga digunakan sebagai ruang tamu—tempatku berada sekarang. "Tunggu sebentar, saya panggilkan Abi dan Ummi."

"Baik, terima kasih." Pak Rizal langsung duduk kemudian melirikku sambil tersenyum.

Aku mengernyitkan kening. "Maaf, Pak Rizal ada perlu apa ya, sama Abi dan Ummi?"

Pupuk Cinta Orchidaceae (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now