1

32 9 1
                                    

Semua kisah membutuhkan akhir. Tak peduli bagaimana wujudnya, tak peduli kapan datangnya. Akhir akan melengkapi kisah itu. Menjadi sebuah penutup bagaimana kisah itu ternamai, kisah bahagia ataupun kisah sedih.

"Aku tidak akan pulang." Seorang pria bermonolog memandang seorang siswi SMA yang sesekali mengusap matanya diseberang jalan. "Biar saja ayah hidup dengan jalang itu!." Lanjutnya.

"Berhenti melakukan itu!." Pria yang lain jengah melihat sepupunya selalu melakukan hal bodoh setiap melihat orang-orang dengan tingkah aneh. "Jangan katakan kau melakukannya lagi di kencan butamu!." Selidik Pria muda dengan setelan jas biru laut. Yang diajak bicara mengalihkan pandang.

"Ah. Berhubung kau membicarakan kencan buta, aku jadi ingat."

Pria berjas biru menaruh perhatian lebih mendalam, berharap pria berpenampilan seperti gelandangan tampan itu menyinggung tentang gadis yang dia kenalkan beberapa minggu lalu. Setidaknya memintanya untuk kembali mempertemukan mereka.

"Aku lupa mengatakan padamu kalau aku ingin lebih fokus pada pekerjaanku. Aku tak berencana menikah, aku akan menikahi pekerjaanku. Jadi berhenti mengatur perjodohan untukku. Kau bahkan bukan ayahku." Hampir saja melongo mendapati seorang hampir gila mengatakan tentang pekerjaan. Hal yang dilakukannya setiap saat hanya mengamati orang dan mencoret-coret bukunya.

Belum lagi sifat pemilihnya, Gadis itu tak menarik, kurang cantik, aku tak suka gadis kaya raya. Mungkin saja setelah ini dia juga akan mengatakan aku tidak menyukai gadis, lebih baik hyung saja yang menikah denganku. Bukan berarti dia tak pantas memilih. Percayalah jika kau tilik lebih dekat lagi pria seperti gelandangan ini lebih pantas menjadi model di layar televisi atau paling tidak majalah lokalpun tak akan menolak memasang potretnya sebagai sampul.

"Jeon." Nadanya melemah. Ini adalah permintaan nenek mereka sebelum meninggal. Membuat Jeon Jungkook kembali normal. Bukan berarti pria dengan rambut sedikit panjang beratakan itu gila. Hanya saja nyaris gila, diambang batasnya. "Ayahmu saja menyerah mengurusimu, harusnya kau lebih mendengarkanku. Karena jika kau melakukan hal bodoh lagi, aku juga akan meninggalkanmu." Sudah hilang kesabarannya. Tak peduli banyak mata memandang mereka seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar.

"Seokjin Hyung."

"Apa kau nyaman hidup seperti orang gila?. Hanya karena seorang gadis kau membuang hidupmu dengan sia-sia. Aku tahu sejak awal Nara akan memberi pengaruh buruk untukmu."

Nafasnya naik turun, meluapkan keresahannya membuat energinya terkuras. Hingga dia sadar bahwa ada sebuah nama yang harusnya tidak dia katakan. Tapi semuanya sudah terjadi. Sekarang dia akan memerlukan banyak waktu untuk selalu mengawasi sepupu hampir gilanya.

Yang dilakukan Jeon Jungkook hanya, berpikir. Barangkali dikepalanya kini kepingan kenangan bersama Nara kembali terangkai meski samar. Hingga pria muda itu menunduk dalam lantas menarik surai hitam legamnya.

"Jeon!. Tidak lagi." Seokjin menarik tangan Jungkook, menahannya agar tidak lagi meyakitki diri. Seluruh pengunjung cafe terlihat histeris. Beberapa menjauh dari kedua pria itu. "Kumohon. Jeon!." Teriak Seokjin.

Pria berjas biru itu mengambil ponselnya, menghubungi sekretarisnya untuk segera datang. Dan Jeon Jungkook benar-benar memanfaatkan waktu selagi sepupunya lengah. Dengan sekuat tenaga pria tinggi itu membalik meja dihadapannya hingga terjungkal. Membuat cafe itu berkali lipat lebih mencekam.

Para pengunjung bermunduran, tidak mau mendekat juga tidak mau pergi. Beberapa staf berusaha mendekat, meski ketakutan. Hingga Seokjin mengangkat tangan mengisyaratkan tidak boleh ada yang mendekat. "Jeon. Ayo pulang, kau pasti kelelahan!."

AnotherWhere stories live. Discover now