Alisnya mengernyit ketika aroma khas yang begitu dikenal dan nyaris membuatnya gila karena rindu, memenuhi indra penciumannya.=========**=========
Bunyi sentakan kuat sepatu milik anak laki-laki berseragam putih abu-abu yang beradu dengan lantai, terdengar di sepanjang koridor sekolah yang lenggang. Waktu masih menunjukkan pukul enam lewat sedikit, tetapi beberapa siswa yang enggan terlambat atau mungkin mencuri waktu untuk mengerjakan tugas, sudah menempati ruang kelas dan berkutat dengan urusan masing-masing.
Napas anak laki-laki itu tersengal. Beberapa bulir keringat membingkai wajahnya yang terlihat kelelahan, sementara kaki jenjang miliknya terus menyusuri ruangan di lantai dua, demi mencapai kelas yang berada di ujung koridor. Kelas XI IPA 2.
Saat berada di pintu ruang kelas yang terbuka lebar, pandangannya menyapu seisi ruangan dan berhenti di satu titik, pada bangku kosong di pojok sebelah kanan yang berjarak empat kursi dari papan tulis. Dia berjalan dengan kepala tertunduk menuju tempat yang menjadi perhatiannya. Tangannya meraba-raba kolong sempit meja, berharap menemukan sepucuk surat atau petunjuk apa pun dari orang yang selama dua hari ini menjadi penyebab kekacauan dalam dirinya.
Dia menghela napas kecewa dan tersenyum kecut. "Ngapain aku nyari kamu di sekolah kalau aku yakin kamu bakal bolos lagi, Ra?" gumamnya, nyaris sepelan sapuan udara.
Dengan menekan perasaan khawatirnya, anak laki-laki itu melipat tangan di meja kemudian memejamkan mata. Dia berharap wangi orang itu dapat terendus dari sisa udara yang menyimpan sedikit jejak untuk menenangkan sarafnya yang tegang.
"Lang! Erlangga bangun, ih! Gue gak bisa masuk, nih, kalau lo duduk di situ."
Rengekan berbalut kepanikan yang cempreng itu berhasil menyulut kesadaran anak laki-laki tadi yang tertidur dengan tangan terlipat di atas meja. Erlangga, demikian dia biasa dipanggil, berpikir suara cempreng yang didengarnya hanyalah bagian dari bunga tidur yang siap melelapkannya kembali, kalau saja tidak ada yang menepuk dan mengguncang bahunya dengan cukup kuat dan tak sabar.
"Heh, bangun, Lang! Gue mesti buru-buru ngerjain PR sebelum bel. Kalau lo gak—"
Erlangga berdesis saat teriakan tadi berhasil membuat telinganya berdengung. Dia menatap gadis berkulit eksotis dengan poni yang hampir menutupi alis dan berdiri di samping kanannya itu dengan mata menyipit tajam.
"Lo ngalangin gue buat duduk," Gadis itu menjawab pertanyaan tersirat dari tatapan Erlangga kepadanya.
"Gak perlu teriak-teriak. Gue gak budek, Sofi." Erlangga mengusap telinganya dan teringat alasan dia berada di kelas tersebut. Matanya kembali menelusuri seisi ruangan yang mulai dipadati beberapa siswa. "Dara belum dateng?"
Sofi menepuk pundak Erlangga dengan tampang prihatin. "Dia kayaknya absen lagi. Emang belum ngabarin lo?"
Erlangga menggeleng dan berdiri untuk mempersilakan Sofi duduk di bangku milik gadis itu. "Gue sengaja nungguin dia di sini, tapi malah ketiduran."
Sofi mengangguk. "Tampang lo kusut abis. Kata Boni, lo juga nungguin Dara di kos."
"Kalau lo ketemu Boni pas jam istirahat, tolong bilangin, gue bolos hari ini. Terserah dia mau bilang apa kalau ditanyain Bu Aisyah. Gue mau balik ke kosan lagi."
Sofi melirik bangku di sebelahnya kemudian punggung Erlangga. "Lo gak bawa tas?" Gadis itu tergelak ironi. "Gila, ya, lo! Ck, ke sekolah ngapain aja kalau gak bawa tas?"
Erlangga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gue pergi dulu. Kalau Dara nelpon lo, lo tahu harus nyari gue di mana. Thanks, Sof."
Sofi menggeleng-gelengkan kepala sambil mengibaskan tangannya, isyarat untuk mengusir Erlangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
D O (s) A
RomanceDara dan Erlangga pernah menikmati buaian kabut nafsu yang memburamkan logika keduanya. Tak ada kepemilikan yang lebih berarti selain merenggut dahaga duniawi. Sayangnya, cinta putih abu-abu itu harus kandas begitu saja. Pisah yang membuat Dara kehi...