Lima detik kemudian, dia melihat seseorang yang dulu berkata tidak akan pernah membuatnya tersisihkan, sudah berganti memeluk bahu gadis lain.=========**=========
Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum bersiap menyambut hari baru, Erlangga sudah terbangun dan menikmati wajah cantik Dara yang tengah terlelap. Bibirnya menampilkan senyum tipis saat melihat bekas gigitan kecil yang dia berikan di pundak Dara kemarin siang. Rasanya waktu melesat terlalu cepat jika dihabiskan bersama pacar cantiknya ini.
Erlangga mengecup pucuk hidung dan bibir kemerahan Dara yang merekah. Senyum tipisnya terkembang tatkala Dara membalas kecupannya dengan igauan lapar. Dengan kode itu pun, Erlangga mencari bantal untuk menggantikan lengannya yang dijadikan alas kepala remaja perempuan itu. Dia harus bangun, mencari sarapan untuk Dara, kemudian bergegas pulang mandi dan kembali menjemput anak perempuan berambut lurus yang masih terlelap di sebelahnya. Mereka sudah absen selama dua hari di sekolah dan kalau hari ini tidak masuk lagi, sanksi dikeluarkan dari sekolah mungkin diberlakukan.
Setelah mencuci wajah di kamar mandi dan memakai kaus yang kemarin, Erlangga menyalakan ponselnya yang dicas di atas meja belajar. Getar sms beruntun langsung menyambutnya. Dan itu semua dari sang ibu tercinta. Erlangga membaca sebagian pesan yang masuk.
|Wali kelas kamu nelpon ibu. Kamu bolos dari kemarin?|
|Ibu nelpon rumah dan kata Bi Suti kamu gak balik. Ke mana kamu?|
|Kalau ibu nelpon itu diangkat!|
|Ibu tunggu kamu pulang. Sekarang.|
|ERLANGGA!|
Sms terakhir itu dikirim sekitar pukul dua tengah malam, berarti ibunya mungkin tidak tidur karena menunggu kepulangannya. Erlangga meringis kemudian mengacak rambut dan mengusap wajahnya sebelum mengetik pesan balasan.
/Nginep di rumah temen. Ini udah mau siap-siap pulang./
Setelah yakin pesannya terkirim, Erlangga kembali mematikan ponsel lalu bersiap mencari sarapan untuk Dara di warteg depan indekos.
***
Belum dua detik motornya berhenti di garasi yang hanya cukup menampung dua motor di sebelah kiri teras, Erlangga mendengar bunyi kunci pintu yang diputar. Wajah masam Nisma, yang tak lain adalah ibunya, menyembul dari dalam rumah. Erlangga masih bisa melihat bekas lipstik dan maskara menempel di wajah sang ibu yang dibingkai mukena putih gading.
"Assalamu'alaikum," sapa Erlangga ketika turun dari motor kemudian menyalami ibunya.
"Wa'alaikumsalam. Dari mana aja kamu? Kamu tahu ini jam berapa?" tanya Nisma tanpa berbasa-basi. Matanya menelisik tangan Erlangga yang menenteng seragam sekolah.
Erlangga melirik sebentar jam di pergelangan tangannya. "Baru jam enam lewat empat. Saya nginep di rumah temen. Kalau ibu mau ngomel, saya nanti telat ke sekolah."
Alis Nisma terangkat. "Kamu pikir ibu percaya? Sudah berapa kali ibu bilang, ibu gak suka kamu bergaul dengan perempuan yang gak beres itu! Besok-besok, kalau kamu kayak gini lagi, ibu gak—"
"Dara bukan perempuan yang seperti itu, Bu." Erlangga masih berusaha merendahkan nada bicaranya. Dia tidak ingin bertengkar, apalagi membahas hubungannya dengan Dara.
Nisma mendengkus. "Mamanya gila, kakaknya overdosis obat-obatan. Dan sekarang dia bikin anak ibu suka bolos, sampai gak pulang-pulang ke rumah. Gimana ibu bisa yakin kalau dia perempuan baik-baik, Erlangga?"

KAMU SEDANG MEMBACA
D O (s) A
RomansaDara dan Erlangga pernah menikmati buaian kabut nafsu yang memburamkan logika keduanya. Tak ada kepemilikan yang lebih berarti selain merenggut dahaga duniawi. Sayangnya, cinta putih abu-abu itu harus kandas begitu saja. Pisah yang membuat Dara kehi...