Published at 8th, September 2019
By SungRaAika
🌸Aku akan mengawali cerita ini dari sebuah kipas angin seharga seratus empat puluh ribu rupiah yang belum dibayar dari seseorang yang baik hati meminjamkan uang untuk memenuhi entah itu keinginan atau kebutuhan. Yang jelas, aku tak boleh meniup makanan yang masih panas.
Kipas ini kupinjamkan pada adikku yang berumur lima tahun. Lututnya terluka akibat permainan -sedikit- berbahaya di halaman rumah. Ia tak tahan menahan sakitnya saat obat merah melewati luka. Sehingga ia meminjam kipas itu untuk menjadikannya sebagai peralihan.
Dua hari berlalu sesudah ia sembuh dari luka di lututnya.
Kala peralihan siang menjadi malam, entah mengapa suhu tubuh ini meningkat. Kalang kabut mencari kipas seratus empat puluh ribu yang hilang entah kemana.
Tubuh berkeringat bersamaan dengan lantunan sholawat dari masjid-masjid sekitar. Waktu Isya hampir datang.
Tak bisa seperti ini untuk khusyuk dalam sholat nanti.
Dalam hati kesal karena hilangnya kipas itu bersamaan dengan adik -yang setengah sembuh- sedang tertidur di kamar milik ibu. Tak bisa kubertanya apapun padanya.
Ku mencari di tempat mainan biasa ia menyimpan lego. Tak di dapatkan apapun disana. Kucari di bawah kursi dan meja, tak terdapat warna merah muda dari wujud kipasku. Hingga seluruh sudut rumah telah kusinggahi. Bahkan dapur yang notabene tak pernah terdapat barang-barang lain selain pisau, kompor, panci, dll.
Hingga adzan Isya pun tiba. Tubuh masih berkeringat tatkala bergerak sana-sini mencari kipas 'mahal' yang belum di bayar.
'Ya Allah, tolong hamba.'
"Coba cari di mobil." Ibu berbicara menghadap almari besar tempat menyimpan obat-obatan. Apa yang sedang beliau cari?
Aku tak menghiraukan apa yang sedang ibuku cari. Tetap pada kekesalanku tentang mengapa kipas itu bisa menghilang dari tempat yang kuingat. Sesuai dengan perkataannya, ku mencoba untuk mencari kipas tersebut di dalam mobil. Setiap inchi luas mobil ku lihat dengan teliti. Di laci, saku kursi, bawah kursi, bahkan bagasi. Jawabannya tetap sama. Tak ada. Semakin berkecamuk pikiran hampir berkata kasar.
Adzan isya sudah selesai dikumandangkan. Namun, aku tetap bersikeras untuk menunda sholat karena suhu tubuhku yang masih meningkat. Bodoh memang. Tapi setan tetap masih berkeliling di area pembuluh darahku.
Kucoba sekali lagi untuk mengelilingi rumah. Kali ini dengan senter di tangan. Agar benda-benda kecil bisa terlihat jelas. Tetap sama. Bahkan kali ini, peluh yang turun mengaliri punggung semakin terasa. Baju tidurku sedikit basah. Apa yang membuat malam ini menjadi panas?
Lelah. Terduduk di atas karpet lembut berwarna coklat yang sering kusinggahi untuk bersantai. Menatap smartphone yang menunjukkan pukul 19:20 WIB.
Tak sadar ku mengucapkan, "Bismillah."
Terdiam sejenak, menatap adikku yang tertidur pulas di kasur. Membiarkan angin malam masuk untuk mendinginkan setidaknya sedikit suhu tubuhku. Cukup lelah kesana-kemari, membungkuk, berjongkok untuk melihat 'apakah disini?'. Sekali lagi ku coba cari di bawah meja dekat tempatku berada.
Nihil.
Putus asa. Lelah. Memang jika suhu tubuh meningkat. Emosi pun meningkat.
Tiba-tiba pikiran itu datang pada kepalaku. Tak mungkin kipas itu ada disana. Toh tak pernah kubawa kemari. Selalu adikku yang membawa kipas itu dua hari kebelakang. Bahkan jika diingat, aku pernah melihat kipas itu di tempat mainan.
Kubalikkan selimut abu-abu yang menutupi setengah bantal diujung karpet.
Tak ada.
Kubalikkan lagi bantal coklat lembut yang ada di bawahnya.
"Hah? Hahahaha!"
Disitu kau rupanya.
"YaAllah! Terima kasih!"
-So remember me, i will remember you.- (2:152)
🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Trust to Allah [COMPLETED]
Spiritual"So remember me, i will remember you." (Al-Baqarah 2:152) Berharap pada manusia adalah kebiasaan buruknya. Tak ingat bila ujung dari segala harapan adalah Tuhan. Untuk sahabat non islam, mungkin bisa mengambil pembelajaran juga dari kisah ini. Kare...