Don't do that

16 1 0
                                    





Tak perduli jika ayah berdosa lantaran aku yang tidak memakai hijab. Biarkan ia menerimanya, toh aku seperti ini karena beliau juga.

Hijab kupakai hanya pada saat kuliah saja. Sisanya? No. Aku suka dengan rambutku yang terkibas angin menampakkan warnanya. Walau terkena angin, rambutku masih bisa ku atur dengan sekali sibak ke belakang. Tetap rapih pada tempatnya.

Ku bilang karena ayah, ya selama ini ia-lah yang selalu berulah di rumah. Ibu selalu sendirian menjaga kami. Ayah selalu suka tinggal di luar kota. Ia bekerja disana. Entah apa alasannya ia tak mau mengurus perpindahan untuk bisa bersama-sama kami disini.

Bahkan ia menjaga tempat karaoke? Tanpa sepengetahuan ibu. Sudah berapa kali ibu mendapati pesan singkat di smartphone-nya berisi 'ketemuan dimana, bunda?'. Ayah tak pernah memanggil ibu dengan sebutan 'bunda'. Bahkan ibu tak ingat pernah mendapat pesan singkat se-mesra itu dari ayah.

Satu. Dua. Bahkan tiga. Pesan itu ada di dalam kotak pintarnya. Dalam nama yang berbeda.

Semenjak beliau pindah disana, banyak tingkah ayah yang tidak jujur pada ibu. Bahkan kami semua.

Benci? Ya. Aku benci padanya. Ku harap aku tak akan pernah mempunyai ayah seperti dirinya.

Rutinitas Jumatan selalu dilakukan sendiri oleh adik kedua-ku. Si bungsu masih terlalu kecil untuk bisa diam tak mengoceh saat semuanya khusyuk menghadap sang pencipta.

Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Dan aku merasa, bahwa akulah disini sebagai pengganti ayah.

Apa aku suka? Berfikirlah. Kau tahu rasanya.

Ibu bekerja, kedua adikku sekolah, aku kuliah dan menyewa kostan di dekat kampus. Butuh satu jam perjalanan menggunakan bis jika dari rumah. Walau hanya satu jam, itu adalah satu jam yang melelahkan sehingga membuatku menyewa kamar kost disana. Dan juga. Bukan apa-apa.

Aku ingin menghilang dari keluarga yang kacau balau ini.



"Pusing ya? Mana besok ujiannya. Belum apa-apa udah males."

Disinilah aku bersama ketiga teman dekatku. Aku berada di pinggir kasur milik temanku. Kami sedang belajar di kostannya untuk menghadapi ujian besok.

Kalian tahu? Disinilah aku menemukan keluarga.

Lucu sekali, aku dianggap sebagai adik terkecilnya mereka. Kami berasal dari berbagai daerah. Dan dari latar belakang yang berbeda. Tapi tetap, masalah takkan dengan mudah meninggalkan manusia. Karena dengan masalah, kita akan terus belajar. Dan dengan adanya masalah, kita bisa bersatu.

"Karaoke lah yuk!" Kakakku yang kedua mengajak kami untuk karaoke di salah satu mall yang ada disana.

"Ayo lah! Pusing gini. Haha!" Aku menimpali.

"Yaudah, setelah isya aja kita berangkat." Ia kakak ketiga dari keluarga kecil ini.

Kita semua perempuan. Dan disitulah awal kejadian ini bermula.

🌸


Angin malam menerbangkan rambut seorang gadis bernama Rayya. Ia masih mengenakkan pakaian kuliahnya sedari tadi siang. Mereka telah sampai di sebuah mall yang masih ramai akan pengunjung. Waktu menunjukkan pukul delapan kurang.

Mereka memesan beberapa koin untuk dipakai menjalankan mesin agar bisa bernyanyi menghilangkan stres sejenak.

Malam itu Rayya yang memilihkan lagu. Entah kenapa ia memilihkan lagu yang sedih. Sehingga semua larut dalam emosi masing-masing. Ia mencoba untuk bertanya pada teman-temannya untuk memilih lagu apa yang akan mereka nyanyikan. Namun tetap, hening yang menjawabnya. Perempuan yang dipanggil Rayya sebagai kakak pertama-bernama Ilmi- mengajak ia untuk memilih berbagai lagu. Sudah beberapa lagu ia dan 'kakak pertamanya' nyanyikan.

Trust to Allah [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang