3. Pandangan Pertama

39 2 0
                                    


Selamat membaca
.
.
.
Arga berjalan memasuki rumah bercat dinding abu-abu diikuti Angga dibelakangnya. Suasana lumayan ramai karena sekarang memang ada acara syukuran rumah ini. Mereka disambut wanita yang buru-buru mendekat begitu melihat mereka masuk, "Nak Arga kok baru datang? Sudah tante tunggu dari tadi" Santi tersenyum sumringah begitu melihat Arga.

Arga bergegas mencium punggung tangan Santi begitupun juga dengan Angga, "Maaf telat tante, tadi dijalan macet sekali".

Arga menyerahkan bungkusan yang sedari tadi berada ditangannya salah satu alasan mengapa mereka sedikit terlambat.

Santi mengambil bungkusan dengan raut sungkan yang sungguh kentara, "Nak Arga seharusnya tidak usah repot-repot, datang saja sudah cukup".

"Tidak merepotkan kok tante" Arga tersenyum sopan.

Santi tersenyum kembali dan melihat kearah Angga yang berdiri diam disamping Arga, "Ini pasti Angga ya? Wahh ternyata sudah besar ya tante pikir kemarin pas kamu cerita itu Angga masih masih kecil loh Ga".

Angga tersenyum sopan dan melihat Arga sekilas lalu memusatkan perhatian kembali kepada Santi.

"Pasti mas Arga cerita yang jelek-jelek yah tan?".

Santi tertawa renyah dan menggandeng mereka untuk masuk rumah, "Ah gak kok ngga, ayo masuk didalam banyak makanan loh".

Mereka berjalan memasuki rumah  menuju ruang keluarga. Rumah baru Dimas tidak dapat dikatakan tergolong besar ataupun kecil, rumah yang sederhana namun memiliki kesan nyaman yang kentara. Arga mengedarkan pandangan kesekeliling mengamati Para tamu yang mungkin sebagian besar anggota keluarga Dimas kecuali ia dan Angga.

Santi pamit ingin memanggil Dimas yang entah menghilang kemana, sebagai tuan rumah bukannya menyambut para tamu yang datang tapi Arga malah belum melihat batang hidung Dimas sejak ia menginjakkan kaki didalam rumah. Tuan rumah macam apa itu.

Beberapa menit kemudian Dimas muncul dari pintu yang Arga tebak pintu penghubung antara ruang keluarga dengan taman belakang. Dimas memang beberapa kali pernah mengatakan ingin mempunyai rumah dengan taman belakang untuk bersantai dengan keluarga kecilnya kelak. Tidak mengherankan kenapa Arga bisa tahu. Tidak lama setelah Dimas masuk, dari arah yang sama Santi muncul dengan menggandeng seorang gadis berhijab warna merah muda yang Arga tebak lagi berusia awal 20 tahun.

Gadis itu bisa dibilang cantik dengan gigi gingsul yang terlihat ketika ia tertawa menanggapi perkataan Santi, ibu Dimas. Arga terus memperhatikan gadis itu hingga tidak menyadari keberadaan Dimas yang sudah bediri disampingnya. Dimas melirik Angga yang juga melirik bingung pada Dimas seolah mengatakan ia juga tidak tahu penyebab Arga melamun. Karena penasaran, Dimas mengikuti arah pandang Arga. "Namanya Bilqis, keponakanku yang kemarin aku bilang lagi cari kerja".

Arga terkejut mendengar bisikan ditelinganya dan menemukan Dimas sebagai pelaku tersenyum culas. Ia berdehem sebentar dan
mengulurkan tangan kearah Dimas.

"Selamat bro akhirnya rumah impianmu udah jadi".

"Sama-sama bro, mau aku kenalin ke Bilqis?" tanya Dimas dengan kerlingan jahil.

Angga tertawa melihat muka Arga bersemu, ia menyenggol bahu masnya dengan ekspresi jahil yang sama dengan Dimas.

"Udah hajar aja mas, gak usah malu-malu".

Angga dan Dimas makin keras tertawa melihat wajah Arga tambah merah. Mereka terutama Dimas tidak menyangka bahwa Arga yang tertarik dengan lawan jenis sungguh menggemaskan, padahal tingkah Arga selama ini  seperti anti dengan yang namanya perempuan.
.
.

Arga diam-diam mengamati Bilqis yang sibuk mengunyah cepat nasi dimulutnya sambil sesekali melirik sepiring kue yang ada dimeja seberang. Lucu sekali ekspresi mupeng yang tanpa sadar diperlihatkan Bilqis ketika melihat tumpukan kue itu.
Ia menimang-nimang piring kecil ditangannya berisi kue sus yang ia ambil beberapa saat lalu, melirik lagi kearah gadis yang masih sibuk dengan piring ditangannya hingga gadis itu tidak menyadari nampan berisi kue sus diatas meja sudah lenyap isinya.

Arga mengernyitkan dahi melihat seorang lelaki mengahampiri gadis itu. Melihat respon sang gadis yang terkejut, Arga menduga bahwa mereka mhbgkin sudah saling kenal sebelumnya. Ia tanpa sadar terus memperhatikan interaksi akrab mereka berdua sampai kemudian gadis itu sudah menghabiskan makanan dipiringnya.  Raut kecewa segera muncul begitu gadis itu sampai dimeja kue membuat Arga entah mengapa merasa tidak tega.

Arga mengalihkan pandangan  sebisa mungkin tidak menatap gadis itu, apa lagi setelah ia melihat laki-laki itu menepuk kecil puncak kepala gadia itu. Ia mengalihkan perhatian kepada seluruh tamu Dimas yang saling bercengkrama. Semua tamu disini adalah kerabat Dimas kecuali dirinya dan Angga yang  menghilang entah kemana barsama Dimas meninggalkannya sendiri, duduk dikursi sudut. Ia tidak pandai beradaptasi dengan orang baru jadi yang Arga lakukan hanya duduk diam sambil mengamati interaksi orang-orang. Hahhhh membosankan.
.
.
Arga membaringkan tubuhnya dikasur setelah mengecek semua jadwal kunjungan besok pagi, menatap langit-langit kamarnya yang bernuansa luar angkasa.

Arga ingat ia menggambar sendiri ketika masih duduk dibangku SMP, beruntung ayah dan bundanya bukan orang yang selalu mempermasalahkan hal seperti ini. Mereka membebaskan anaknya untuk berkreasi asalkan bisa dipertanggung jawabkan.
Membebaskan bukan berarti tidak ada aturan itulah yang sering mereka ucapkan ketika menasehati ia dan Angga.

Kamar ini penuh sekali dengan kenangan, mulai dari ia yang sering mengumpet dalam lemari jika ketahuan nakal oleh ayahnya, menyembunyikan majalah dewasa ketika sudah SMA karena dilanda penasaran dan kamar yang menjadi saksi ketika ia pertama kali menyukai tetangganya. Suatu saat ia akan meninggalkan kamar ini ketika sudah menikah nanti, karena seperti sahabatnya itu ia juga ingin membeli rumah sendiri untuk keluarga kecilnya.

Tiba-tiba ia teringat gadis bernama Bilqis yang ia lihat diacara syukuran. Arga menggelengkan kepala sambil beristighfar, bisa-bisanya ia mengingat gadis yang bukan siapa-siapanya itu.

Tok tok tok

Terdengar pintu kamarnya yang diketuk disusul suara Adiknya yang meminta ijin masuk, belum sempat ia menjawab adiknya sudah nyelonong masuk. "Mas besok aku bawa motor aja ya, mas yang bawa mobil".

Alisnya terangkat sebelah, heran. "Kenapa?".

Masalahnya semenjak Angga menginjak kelas 3 SMA ia tidak mau lagi memakai sepedah motor, ia ngotot ingin pinjam mobil Arga yang biasa dipakai kerja. Walaupun Angga sudah cukup usia dan punya surat ijin mengemudi tapi ayahnya sempat menolak permintaan Angga, setelah bujuk rayuan maut ala Angga akhirnya ayahnya mengijinkan. Di sekolahan Angga memang diijinkan memakai mobil dengan syarat sudah cukup usia dan memiliki SIM. Dan sekarang ia ingin pakai motor lagi? Bolehkan kalau Arga curiga?.

"Ya gak apa-apa sih mas, males aja pakai mobil. Gak bisa nyelip kalau macet" kata Angga beralasan.

"Ya udah sini kunci mobilnya".

"Yesss" Angga berseru girang dan segera memberikan kunci mobil kepada Arga. "Kunci motornya mana mas?" todong Angga lagi.

"Besok pagi setelah sarapan". Jawab Arga, malas sekali ia harus bangun.

"Siap komandan" Angga berlagak memberi hormat setelah itu ia berjalan keluar kamar sambil bersiul dan jangan lupakan wajah sumringahnya itu.

Arga mengernyit heran dengan tingkah adiknya itu dan sekali lagi, Bolehkan kalau Arga curiga?.
.
.
.
.
.

TBC

 Berilah saya sedikit upah dengan menekan tombol bintang dan jadikan lapak ini penuh taburan bintang💫

Terimakasih 😘

Ija(b)sahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang