Kenapa huruf R itu mesti ada? Itu pertanyaanku yang selalu membuat hati menjadi gundah gulana. Tak bisakah hidupku damai walau untuk sejenak? Bila saja tak pernah ada huruf R dari kamus di seluruh dunia.
"Ras, kemarin waktu pembagian jatah huruf R ke mana saja? Sibuk banget ya sampai rela kehabisan jatah?" Tanya Antonio yang pura-pura serius dengan wajah memelas.
"Lagi meeting dengan presiden Zimbawe," jawabku sambil mengacungkan kepalan tangan tanda kesal.
Itu bukan sekali dua kali ledekan serupa kualami. Entah mengapa dunia seolah enggan untuk bersahabat. Tak sadarkah mereka bahwa tak ada manusia yang sempurna tanpa cela dan cacat.
"Makanya, Ras. Sering-sering berlatih. Gunakan mantra sakti langsung dari Mbah Kertapati yang biasa bertapa di Gunung Salak," sahut Handoyo di lain kesempatan.
Aku tahu itu akan berakhir menyedihkan seperti biasanya. Meski ada secuil harapan berharap keajaiban itu memang ada.
"Benar nih, apa mantranya? Aku siap mencoba," tantangku antusias sembari menyiapkan sebuah krikil bila ini hanya bualan.
"Coba ya. Ular melingkar bundar di pagar pak Umar, berputar-putar lalu dipukul mistar hingga terkapar. Bisa?" jawab cowok bertubuh gempal itu yang langsung kabur meninggalkan ruangan dengan kecepatan kilat.
Bullying yang kesekian kalinya kudapatkan. Berawal dari keisengan hingga tak jarang menjadi hobi berkelanjutan. Apesnya pula terlahir dengan cacat yang kentara terlihat. Terlebih lagi dengan nama yang terpampang di akte kelahiran.
"Raras Anugerah Putri," panggil guru seni budaya ke depan untuk ujian praktik seni vokal.
"Panggil saja Puput, Bu." Jawabku sebelum melantunkan lagu gubahan Virgoun yang telah tuntas kuhafalkan kemarin malam.
Seantero kelas langsung gegap gempita saat baru beberapa bait lagu kusenandungkan. Bukan oleh nada sumbang ataupun lirik yang salah, tapi karena pelafalan huruf yang tak sesuai. Huruf R sempurna berubah menjadi L tanpa bisa kuelak.
"Kutuliskan kenangan tentang calaku menemukan dilimu. Tentang apa yang membuatku mudah belikan hatiku untukmu," ucapku mencoba tak acuh dengan suasana yang semakin gaduh.
Guruku pun ikut tertawa demi mendengarnya meski dengan tangan yang menutup mulut. Hanya ada beberapa orang yang peduli untuk meminta tenang meski tak banyak mendapat gubrisan. Sama halnya dengan panggilan Raras yang tetap melakat padaku meski berulang kali kusampaikan permintaan untuk dipanggil Puput saja.
Cadel yang menurut guru biologi di sekolah diakibatkan oleh frenulum linguae, atau ketidaksesuaian panjang lapisan kulit yang menghubungkan dasar mulut dengan lidah hingga lidah sulit bergetar menyebut beberapa huruf tertentu, termasuk huruf R.
Berbagai upaya sudah kulakukan, mulai dari saran dokter untuk terapi pengucapan huruf R berulang-ulang sampai membuat suaraku nyaris serak hingga anjuran dukun kampung untuk mengkonsumsi lidah sapi setiap hari raya kurban. Sayangnya semua berakhir dengan kekecewaan.
"Make a wish, Ras. Ayo dong ucapkan kuat-kuat," pinta Kirana yang berdiri menemani sebelum kutiup lilin kue ulang tahun ke-17.
Bila benar sweet seventeen itu sakral, maka jelas kali ini aku berharap lebih dengan amat sangat.
"Semoga huruf R musnah dari peredaran," pintaku sepenuh hati dengan suara yang amat pelan.
Hanya butuh beberapa jam hingga semua terjawab. Aku adalah orang yang realistis tak mudah percaya akan takhayul bernuansa mistis. Tapi kali ini berbeda. Sesosok makhluk bersayap putih datang guna menghapus seluruh huruf R di novel Tere Liye milikku semudah menghilangkan huruf di komputer dengan sekali menekan tombol Ctrl+A dan delete.
Benarkah permintaanku telah terkabul? Sesuatu yang hanya menjadi khayalan belaka bertajuk andai dan bila. Butuh bukti untuk menunjukkan mimpi itu telah menjadi nyata.
"Las, jangan lupa bawa selagam untuk plaktik olahlaga besok ya. Nanti dimalah sama pak Anwal loh," sahut Desli di ujung telepon.
Hah, aku setengah tertawa mendengar percakapan teman sekelasku barusan. Sadar bahwa percakapan aneh itu amat lucu dan menggelikan. Melupakan sejenak kalau itu sudah bertahun-tahun menjadikanku korban guyonan. Janji malaikat bersayap itu ternyata benar dan bukan hanya sekedar angan.
Tak ada bully, normal dan kehidupanku berjalan amat tenang. Meski terkadang sedikit canggung mengamati rangkaian kata yang telah kehilangan satu anggota keluarganya. Anehnya tak ada yang menyadari kejanggalan ini selain aku.
Semua berlangsung menyenangkan tanpa ejekan, meski harus kuakui candaan itulah yang terkadang membuat suasana kelas lebih berwarna. Rasa akrab itu tiba-tiba menghilang.
"Nak. Jadilah dirimu sendiri, apa adanya. Tak perlu malu dengan keadaanmu saat ini. Percayalah masih banyak orang di luar sana yang ingin berada di posisimu saat ini. Ketika kita bermalas-malasan tak mau belajar, teman-teman kita di Suriah harus berkejaran dengan ancaman bom demi menuntut ilmu ke sekolah. Saat kita diet berlebihan mengidamkan tubuh langsing sempurna, saudara kita di Afrika menahan lapar tak makan berhari-hari lamanya." Cerita bu Silviana di suatu kelas.
"Syukuri pemberian Tuhan. Tak perlu operasi plastik ataupun iri dengan orang lain. Ingat, cantik itu bukan datang dari perhiasan yang terpampang, bukan pula oleh hidung mancung di wajah rupawan. Cantik itu datang dari pribadi yang mandiri, saat pesona akhlak bersinar menaungi. Kun anta, be your self." Pungkas guru kimia faforitku itu mengakhiri pembelajaran.
Syukur dengan semua pemberian Tuhan, itu penjelasan yang kucerna. Berlebihankah aku dengan permintaan merubah dunia tanpa huruf R karena cacat fisik yang membuatku malu tak berdaya? Setidaknya aku tahu bahwa banyak tokoh dunia yang justru sukses karena ketidaksempurnaan fisik hingga membuat mereka berjuang ekstra daripada orang-orang pada umumnya.
"Alhamdulillah ya Allah. Kau berikan pada kami sosok anak yang amat sempurna. Anugerah terindah yang kami dapatkan, semoga kelak ia menjadi putri kebanggaan bagi agama, nusa dan bangsa. Amin," tulis ayah di lembar terakhir catatan kelahiranku yang tak sengaja kutemukan di dalam laci meja kerjanya.
Tangisku mengalir perlahan seusai menutup kembali pintu kamar ayah yang sedang pergi ke luar kota. Harapan besar pada sebuah nama yang sering kali ditutupi hanya karena sisipan huruf yang amat kubenci di tiap kosa katanya. Andai saja malaikat bersayap itu tak pernah datang dan satu huruf itu tak pernah hilang.
Kesempatan untuk mengembalikan keadaan itu akhirnya datang. Aku percaya bila perayaan sweet seventeen itu adalah kunci datangnya perubahan. Tepat di hari ulang tahun Sella, sengaja aku berdiri untuk mencuri permintaan di samping kue ulang tahun yang belum ditiup lilinnya.
"Kembalikan huruf R ke dunia ini," bisikku bersamaan dengan permintaan Sella yang juga tampak komat-kamit menyebutkan sebuah permintaan spesial.
Benar bahwa permohonanku telah dikabulkan. Dunia kembali berwarna dengan sebuah huruf yang sempat menghilang sejenak dari peredaran orbital. Sujud syukur kulakukan mengabaikan tatapan aneh orang-orang di sekitar.
"Rat, apa yang tedang kau kerjakan. Hari matih tiang. Jangan tuka keturupan," tegur Iqbal bernada skeptis yang membuatku keheranan.
Apa aku salah dengar? Kemana huruf S di tiap perkataan Iqbal barusan? Sayangnya aku langsung hilang kesadaran akan pertanyaaan dan kejanggalan baru yang kembali memasuki episode awal.
Pesta ulang tahun SellaSeptiana lah yang menjadi cikal bakal cerita lanjutan.
YOU ARE READING
DUNIA TANPA HURUF "R", KUMPULAN CERPEN
Science FictionSUDAH DITERBITKAN Buku Dunia Tanpa Huruf R ini merupakan kumpulan cerpen Berisikan dua puluh dua karya yang diharapkan dapat menggugah dan menginspirasi para pembaca. Memuat kritik sosial budaya, cinta anak muda hingga lika-liku dunia pendidikan Ind...